(Foto: jawa pos) |
Membangun daerah 3 T atau terdepan, terluar dan teringgal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) intinya membangun kehidupan manusia agar lebih sejahtera, dengan mempertahankan kekhasan atau ciri lingkungan sosio kultural, sebagai identitasnya. Sebab perbedaan identitas itulah sebenarnya esensi kehidupan yang memperkaya keunikan sebuah bangsa.
Membangun mesti berdasar nilai - nilai universal yang berlandas pada nilai kemanusiaan. Memiliki sikap saling peduli, saling tolong, menjaga martabat serta peradaban. Serta saling menghargai sebagai sesama mahluk hidup.
Membangun daerah terdepan, terluar dan tertinggal mesti memperhatikan enam hal berikut :
- Pertama terjalin dialog yang baik.
- Kedua, memiliki kemampuan dan kemauan saling membantu.
- Tiga perlu partisipasi atau peran aktif.
- Empat pendampingan yang berkelanjutan hingga menjadikan mandiri.
- Lima adanya kesempatan.
- Enam memiliki dorongan untuk mengaktualisasikan dan mengekspresikan diri lewat kegiatan seni budaya, sebagai wujud penyampaian identitas dan jati diri bangsa Indonesia.
Membangun itu saling membantu
Manakala pemerintah tidak mampu membangun wilayah terdepan, terluar dan tertinggal, bukan berarti pemerintah abai atau kurang peduli. Skala prioritas menjadi alasan pemerintah karena tidak sedikit tempat atau wilayah lain yang harus mendapat perhatian dan dibangun.
Saling membantu (Foto: Tribunnews) |
Menggandeng swasta atau investor untuk membangun daerah atau wilayah terluar dan terdepan merupakan salah satu solusi mengatasi ketidak mampuan tersebut. Harapannya masyarakat di daerah mengalami peningkatan kesejahteraan dan kelayakan hidup. Lewat fasilitas pendidikan, peribadatan, kegiatan ekonomi dan kesehatan serta infrastuktur yang memadai.
Bantuan diperlukan untuk meningkatkan taraf kehidupan tanpa harus menghilangkan atau mengorbankan identitas lokal atau ciri kebudayaan setempat. KORINDO perusahaan yang berdiri di tahun 1969, memahami bahwa potensi lokal termasuk sumberdaya manusianya merupakan aset yang tidak ternilai.
(Foto: Korindo) |
Monumen Bung Hatta (Foto: Wikipedia ) |
Pembangunan yang dilakukan Korindo bukan semata-mata untuk pembangunan fisik atau kewajibannya karena telah berinvestasi di wilayah Indonesia. Bangun Perbatasan Jadi Terasnya Indonesia lewat pembangunan fasiltas kesehatan, pendidikan, tempat ibadat serta infrastuktur lainnya adalah cara membangun manusia dalam arti yang luas.
Fasilitas kesehatan (faskes) yang dibangun Korindo dua tahun lalu, di desa Asiki, distrik Jair, kabupaten Boven Digoel Papua, wujud aksi untuk saling membantu. Faskesnya tergolong modern mengingat letaknya di daerah terluar dan terdepan.
Faskes ini pernah menyabet penghargaan sebagai klinik terbaik di Papua versi BPJS. Klinik ini didirikan di luar area perusahaan dengan pertimbangan untuk mempermudah warga sekitar dalam mengakses fasilitas kesehatan tersebut.
Klinik Asikin (Foto:Tribunnews) |
Kegiatan pembangunan fisik tersebut tidak lepas dari komitmennya akan program CSR / CSC (Corporate Social Responsibility / Corporate Social Contribution ) Korindo yang fokus pada program strategis, sistematis dan berlanjut lewat lima program utama yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan dan infrastruktur.
Semangat pelayanan dari klinik Asiki mestinya menjadi contoh bagi perusahaan atau instansi kesehatan lainnya. Layanan klinik kelilingnya dilakukan empat atau lima kali dalam sebulan. Sebuah pelayanan yang luar biasa, mengingat jangkauan layanan dan kondisi alam yang jauh dari kata ramah.
Klinik keliling (Foto: Korindo) |
Indonesia terus berubah, sumberdaya manusia dari negeri ini sadar perlunya perubahan. Sebagaimana dituturkan pengalaman dokter Firda dari klinik Asiki saat bertugas ke desa Ujungkia yang menghabiskan waktu selama tiga jam untuk menyusuri sungai Digoel dengan perahu motor demi memberikan pelayanan kesehatan. Sesampai di sana sudah ada sekitar 50 warga yang mengantri untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Layanan klinik (Foto: Korindo) |
Jika di kota besar penyuluhan lewat radio mungkin sudah banyak ditinggalkan. Namun di Boven Digoel penyuluhan kesehatan lewat sekolah, siaran radio dan kunjungan ke desa yang letaknya terpelosok masih sangat dibutuhkan. Oleh karena itu daerah terluar, terdepan, tertinggal masih membutuhkan tenaga yang peduli akan Perubahan untuk Indonesia yang Lebih Baik.
Bantuan untuk Indonesia lebih baik (Antara foto) |
Membangun bukan menyeragamkan
Makna pembangunan bukan berarti membuat keseragaman. Menduplikasi keberhasilan pembangunan daerah atau negara lain ke salah satu daerah terdepan, terluar dan tertinggal di wilayah NKRI. Tidak semua model atau pola pembangunan cocok dan tepat diterapkan untuk tiap daerah. Termasuk menerapkan pola yang sama dari daerah lain, ke daerah lainya walau masih sama di NKRI.
Karena itu membangun harus disertai jiwa atau roh keberadaban, keadilan, kelayakan, kepatutan, serta penghargaan akan nilai-nilai kearifan lokal. Apa yang nampak modern belum tentu dapat diterima oleh saudara-saudara kita yang mendiami daerah terdepan dan terluar.
Membangun sumberdaya manusia (Foto: kemendesa) |
Untuk itu perlu dilakukan dialog atau komunikasi yang baik agar menemukan titik temu wujud pembangunannya agar masyarakat atau warga yang tinggal di bagian terdepan dan terluar Indonesia, menjadi lebih sejahtera dan layak kehidupannya.
Dengan pengalaman yang dimiliki hampir 50 tahun Korindo mampu mengelola perbedaan kepentingan dengan penduduk lokal. Tentu Korindo terbuka berbagi pengalaman kepada semua pihak, agar pengalamannya menjadi pelajaran yang dapat diambil nilai-nilai positifnya. Tanpa bermaksud programnya diduplikasi untuk diterapkan di daerah atau wilayah lain dari NKRI.
Sekali lagi bahwa pembangunan itu bukan semata-mata membangun fisik tetapi juga membangun manusia. Setiap manusia di setiap derah memiliki sifat dan karakter yang berbeda.
Keluarga sejahtera (Foto: lsd.org) |
Oleh karenanya pembangunan tidak dapat diseragamkan atau tinggal copy paste. Perlu partisipasi dari penduduk atau warga setempat supaya muncul pemahaman pentingnya sebuah penghargaan akan karya atau kerja.
Partisipasi muncul manakala seseorang memiliki kemampuan atau berdaya. Jika tidak memiliki, maka mesti dibantu seperti yang terjadi di daerah 3T. Program pemberdayaan masyarakat oleh Korindo tidak bersifat populis dan spektakuler. Korindo lebih mementingkan kebutuhan masyarakat lokal.
Budidaya tanaman sayur (Foto:Korindo) |
Pemanfaatan lahan kosong menjadi kebun sayur bagi sebagian daerah mungkin hal biasa. Tapi tidak bagi warga kampung Aiwat, distrik Subur, kabupaten Boven Digoel, Papua. Korindo Papua mengajari masyarakat bagaimana menanam sayur (www.korindonews.com, 2/5/2019) .
Kegiatan pemberdayaannya sederhana. Mengajari menanam sayuran seperti jagung, kangkung, kedelai, cabai dan lainnya sehingga hasilnya dapat dinikmati mereka sendiri. Hal yang biasa dilakukan di daerah agraris seperti di Indonesia. Bahkan bagi sebagian masyarakat sudah merupakan pekerjaan sehari-hari.
Dibalik kegiatan ini terkandung tujuan untuk memotivasi dan menggerakkan masyarakat agar memiliki keinginan berusaha dalam memanfaatkan lahan.
Mata Dodos (Foto:indonetwork) |
Demikian halnya dalam melakukan aktivitas yang disebut pendampingan. Korindo melakukan pendampingan dalam arti yang sebenarnya. Melakukan kontrol berkelanjutan terhadap program tanam sayur tersebut. Ini mestinya menjadi contoh bagi lembaga atau institusi lain bahwa program pemberdayaan tidak hanya dilakukan dalam satu kali pertemuan.
Atau memberi bantuan pengetahuan dan alat, namun setelah itu tidak ada tindak lanjut. Seperti evaluasi dan mendengar keluhan atau kesulitan dari masyarakat, warga yang diberdayakan.
Program ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan warga sendiri akan kebutuhan sayuran. Kedepan hasil ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar kampung dan dapat menjadi salah satu sumber penghasilan.
Peta daerah Boven Digoel (wikipedia.org) |
Membangun kebhinekaan
Manakala hasil pembangunan sudah tertata, sistem berjalan baik sehingga masyarakat yang mendiami daerah 3 T menjadi lebih sejahtera dan menikmati serta menjalani kehidupan dengan lebih layak. Maka seiring dengan proses berjalannya waktu, daerah terdepan dan terluar akan berubah dengan sendirinya menjadi benteng pertahanan yang solid bagi NKRI.
Filosofi Korindo (Foto: Korindo) |
Budaya lokal yang memiliki nilai-nilai serta filosofi yang dalam tentang kehidupan. Menjadi daya tarik, kekhasan, keunikan yang menggambarkan Indonesia secara keseluruhan. Sehingga menjadi etalase bangsa dan negara.
Manakala kesejahteraan dan kelayakan hidup telah terpenuhi maka tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada warga atau masyarakat yang tinggal di daerah terdepan dan terluar untuk mengekspresikan atau mengaktualisasikan diri lewat kekayaan seni dan budaya lokalnya.
Apakah lewat tari-tarian, musik, seni suara, seni kriya, totem, tatoo atau aktivitas adat lain yang memiliki daya tarik sehingga menarik minat orang untuk melihat dan ingin tahu. Sehingga daerah terdepan dan terluar benar-benar menjadi beranda yang mengundang orang untuk mengunjunginya.
Karya seni (Foto: Jakarta post) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar