Rabu, 08 Mei 2019

Membangun Daerah 3 T Itu, Membangun Keberagaman Bukan Keseragaman



(Foto: jawa pos)
Membangun daerah  3 T atau terdepan, terluar  dan teringgal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) intinya membangun kehidupan manusia agar lebih sejahtera, dengan mempertahankan kekhasan atau ciri lingkungan sosio kultural, sebagai identitasnya. Sebab perbedaan identitas itulah sebenarnya esensi kehidupan yang memperkaya keunikan sebuah bangsa.

Membangun mesti berdasar nilai - nilai universal yang  berlandas pada nilai kemanusiaan. Memiliki sikap saling peduli, saling tolong, menjaga martabat serta peradaban. Serta saling menghargai sebagai sesama mahluk hidup.

Membangun daerah terdepan, terluar dan tertinggal mesti memperhatikan enam hal berikut :
  • Pertama terjalin dialog yang baik. 
  • Kedua, memiliki kemampuan dan kemauan saling membantu.
  • Tiga perlu partisipasi atau peran aktif. 
  • Empat pendampingan yang berkelanjutan hingga menjadikan mandiri. 
  • Lima adanya kesempatan.
  • Enam memiliki dorongan untuk mengaktualisasikan dan mengekspresikan diri lewat kegiatan seni budaya, sebagai wujud penyampaian identitas dan jati diri bangsa Indonesia.

Membangun itu saling membantu
Manakala pemerintah tidak mampu membangun wilayah terdepan, terluar dan tertinggal, bukan berarti pemerintah abai atau kurang peduli. Skala prioritas menjadi alasan pemerintah karena tidak sedikit tempat atau wilayah lain yang harus mendapat perhatian dan dibangun.

Saling membantu (Foto: Tribunnews)
Luasnya wilayah NKRI serta jumlah penduduk yang cukup besar berpengaruh dengan kemampuan finansial negara dalam melakukan pembangunan. Belum lagi ribuan pulau yang tersebar juga membutuhkan perhatian tersendiri, sebagaimana wilayah-wilayah terdepan dan terluar.

Menggandeng swasta atau investor untuk membangun daerah atau wilayah terluar dan terdepan merupakan salah satu solusi mengatasi ketidak mampuan tersebut. Harapannya masyarakat di daerah mengalami peningkatan kesejahteraan dan kelayakan hidup. Lewat fasilitas pendidikan, peribadatan, kegiatan ekonomi  dan kesehatan serta infrastuktur yang memadai.

Bantuan diperlukan untuk meningkatkan taraf kehidupan tanpa harus menghilangkan atau mengorbankan identitas lokal atau ciri kebudayaan setempat.   KORINDO perusahaan yang berdiri di tahun 1969, memahami bahwa potensi lokal termasuk sumberdaya manusianya merupakan aset yang tidak ternilai.
(Foto: Korindo)
Monumen Bung Hatta (Foto: Wikipedia )
Lewat pengalaman yang cukup lama, Korindo membuktikan sekaligus jadi contoh keberhasilan dalam membangun investasi yang kondusif di daerah perbatasan, seperti di Boven Digoel dan Merauke Papua.

Pembangunan yang  dilakukan Korindo bukan semata-mata untuk pembangunan fisik atau kewajibannya karena telah berinvestasi di wilayah Indonesia. Bangun Perbatasan Jadi Terasnya Indonesia lewat pembangunan fasiltas kesehatan, pendidikan, tempat ibadat serta infrastuktur lainnya adalah cara membangun manusia dalam arti yang luas.

Fasilitas kesehatan (faskes) yang dibangun Korindo dua tahun lalu, di desa Asiki, distrik Jair, kabupaten Boven Digoel Papua, wujud aksi untuk saling membantu. Faskesnya tergolong  modern mengingat letaknya di daerah terluar dan terdepan.

Faskes ini pernah menyabet penghargaan sebagai klinik terbaik di Papua versi BPJS. Klinik ini didirikan di luar area perusahaan dengan pertimbangan untuk mempermudah warga sekitar dalam mengakses fasilitas kesehatan tersebut.

Klinik Asikin (Foto:Tribunnews)
Belum lama ini klinik Asiki melaksanakan program “Mobile Service”. Tujuannya meningkatkan kesehatan ibu hamil dan bayi di kabupaten Boven Digoel. Sarana ini tidak hanya melayani  karyawan Korindo. Tetapi juga melakukan kunjungan ke kampung-kampung dan perbatasan wilayah sekitar perusahaan Korindo yang berada di Boven Digoel.

Kegiatan pembangunan fisik tersebut tidak lepas dari komitmennya akan program CSR / CSC (Corporate Social Responsibility / Corporate Social Contribution ) Korindo yang fokus pada program strategis, sistematis dan berlanjut lewat lima program utama yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan dan infrastruktur.

Semangat pelayanan dari  klinik Asiki mestinya menjadi contoh bagi perusahaan atau instansi kesehatan lainnya. Layanan klinik kelilingnya dilakukan empat atau lima kali dalam sebulan.  Sebuah pelayanan yang luar biasa, mengingat jangkauan layanan dan kondisi alam yang jauh dari kata ramah.

Klinik keliling (Foto: Korindo)
Kunjungan klinik keliling sampai ke wilayah perbatasan, termasuk menyambangi daerah yang berada di tepi sungai. Dokter dan tenaga medis klinik keliling atau mobile service Asiki tidak jarang turun langsung ke desa menyusuri sungai dan anak sungai Digoel.

Indonesia terus berubah, sumberdaya manusia dari negeri ini sadar perlunya perubahan. Sebagaimana dituturkan pengalaman dokter Firda dari klinik Asiki saat bertugas ke desa Ujungkia yang menghabiskan waktu selama tiga jam untuk menyusuri sungai Digoel dengan perahu motor demi memberikan pelayanan kesehatan. Sesampai di sana sudah ada sekitar 50 warga yang mengantri untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Layanan klinik (Foto: Korindo)
Perubahan untuk Indonesia yang Lebih Baik tidak harus hingar bingar suaranya, yang dibutuhkan dan diperlukan adalah aksi. Bukan pula kerja dalam skala besar yang menarik perhatian banyak orang namun yang penting adalah tindakan nyata. Dirasakan manfaatnya secara langsung oleh orang lain, baik secara fisik maupun pemikiran. Walau bentuk kerjanya sederhana.

Jika di kota besar penyuluhan lewat radio mungkin sudah banyak ditinggalkan. Namun di Boven Digoel penyuluhan kesehatan lewat sekolah, siaran radio dan kunjungan ke desa yang letaknya terpelosok masih sangat dibutuhkan. Oleh karena itu daerah terluar, terdepan, tertinggal masih membutuhkan tenaga yang peduli akan Perubahan untuk Indonesia yang Lebih Baik.

Bantuan untuk Indonesia lebih baik (Antara foto)

Bukan perkara mudah berinvestasi di daerah dengan infrastruktur belum memadai  sebagaimana di daerah terluar, terdepan dan tertinggal dalam banyak aspek kehidupan. Guna mendukung kelancaran investasi, Korindo terlibat melakukan pelatihan atau pendidikan bagi penduduk sekitar perusahaan. Ini tidak lain bagian dari komitmen perusahaan akan program CSR/CSC. Pembangunan fisik tidak ada maknanya jika tidak disertai dengan pembangunan sumberdaya manusia.

Membangun bukan menyeragamkan 
Makna pembangunan bukan berarti membuat keseragaman. Menduplikasi keberhasilan pembangunan daerah atau negara lain ke salah satu daerah terdepan, terluar dan tertinggal di wilayah NKRI. Tidak semua model atau pola pembangunan cocok dan tepat diterapkan untuk tiap daerah. Termasuk menerapkan pola yang sama dari daerah lain, ke daerah lainya walau masih sama di NKRI.

Karena itu membangun harus disertai jiwa atau roh keberadaban, keadilan, kelayakan, kepatutan, serta penghargaan akan nilai-nilai kearifan lokal. Apa yang nampak modern belum tentu dapat diterima oleh saudara-saudara kita yang mendiami daerah terdepan dan terluar.

Membangun sumberdaya manusia (Foto: kemendesa)

Untuk itu perlu dilakukan dialog atau komunikasi yang baik agar menemukan titik temu wujud pembangunannya agar masyarakat atau warga yang tinggal di bagian terdepan dan terluar Indonesia, menjadi lebih sejahtera dan layak kehidupannya.

Dengan pengalaman yang dimiliki hampir  50 tahun Korindo mampu mengelola perbedaan kepentingan dengan penduduk lokal. Tentu Korindo terbuka berbagi pengalaman kepada semua pihak, agar pengalamannya menjadi pelajaran yang dapat diambil nilai-nilai positifnya. Tanpa bermaksud programnya diduplikasi untuk diterapkan di daerah atau wilayah lain dari NKRI.

Sekali lagi bahwa pembangunan itu bukan semata-mata membangun fisik tetapi juga membangun manusia. Setiap manusia di setiap derah memiliki sifat dan karakter yang berbeda.

Keluarga sejahtera (Foto: lsd.org)
Pengertian pembangunan sejatinya lebih luas dari sekedar pertumbuhan ekonomi.  Pembangunan itu melingkupi pertumbuhan atau peningkatan akan rasa aman, memperoleh perawatan kesehatan dengan baik. Memperoleh kesempatan pendidikan. Merdeka membangun keluarga  yang beriman dan mengembangkan diri sesuai kodrat kemanusiaanya.

Oleh karenanya pembangunan tidak dapat diseragamkan atau tinggal copy paste. Perlu partisipasi dari penduduk atau warga setempat supaya muncul pemahaman pentingnya sebuah penghargaan akan karya atau kerja.

Partisipasi muncul manakala seseorang memiliki kemampuan atau berdaya. Jika tidak memiliki, maka mesti dibantu seperti yang terjadi di daerah 3T. Program pemberdayaan masyarakat oleh Korindo tidak bersifat populis dan spektakuler. Korindo lebih mementingkan  kebutuhan masyarakat lokal.


Budidaya tanaman sayur (Foto:Korindo)

Pemanfaatan lahan kosong menjadi kebun sayur bagi sebagian daerah mungkin hal biasa. Tapi tidak bagi warga kampung Aiwat, distrik Subur, kabupaten Boven Digoel, Papua. Korindo Papua mengajari masyarakat bagaimana menanam sayur (www.korindonews.com, 2/5/2019) .

Kegiatan pemberdayaannya sederhana. Mengajari  menanam sayuran seperti jagung, kangkung, kedelai, cabai dan lainnya sehingga hasilnya dapat dinikmati mereka sendiri. Hal yang biasa dilakukan di daerah agraris seperti di Indonesia. Bahkan bagi sebagian masyarakat sudah merupakan pekerjaan sehari-hari.

Dibalik kegiatan ini terkandung tujuan untuk memotivasi dan menggerakkan masyarakat agar memiliki keinginan berusaha dalam memanfaatkan lahan.

Mata Dodos (Foto:indonetwork)
Korindo tidak hanya memberikan bantuan pengetahuan dalam konteks pemberdayaan,  tetapi lebih dari itu. Ikut memberi  bantuan bibit serta perlatan kebutuhan bercocok tanam seperti cangkul, sekop, dodos dan alat semprot.

Demikian halnya dalam melakukan aktivitas yang disebut pendampingan. Korindo melakukan pendampingan dalam arti yang sebenarnya. Melakukan kontrol berkelanjutan terhadap program tanam sayur tersebut. Ini mestinya menjadi contoh bagi lembaga atau institusi lain bahwa program pemberdayaan tidak hanya dilakukan dalam satu kali pertemuan.

Atau memberi bantuan pengetahuan dan alat, namun setelah itu tidak ada tindak lanjut. Seperti evaluasi dan mendengar keluhan atau kesulitan dari masyarakat, warga yang diberdayakan.

Program ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan warga sendiri akan kebutuhan sayuran. Kedepan hasil ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar kampung  dan dapat menjadi salah satu sumber penghasilan.

Peta daerah Boven Digoel (wikipedia.org)
Apa yang dilakukan Korindo di Papua khususnya di kampung Aiwat perlu mendapat acungan jempol, sekaligus menunjukkan komitmen Korindo pada visinya. Visi, membangun hubungan yang harmonis antara kegiatan bisnis perusahaan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian.

Membangun kebhinekaan
Manakala hasil pembangunan sudah tertata, sistem berjalan baik sehingga masyarakat yang mendiami daerah 3 T menjadi lebih sejahtera dan menikmati serta menjalani kehidupan dengan lebih layak. Maka seiring dengan proses berjalannya waktu, daerah terdepan dan terluar akan berubah dengan sendirinya menjadi benteng pertahanan yang solid bagi NKRI.
Filosofi Korindo (Foto: Korindo)
Dengan catatan, masyarakat atau warga di daerah terdepan dan terluar memiliki semangat kesatuan sebagai bagian dari wilayah NKRI dengan kesadaran akan penghargaan terhadap hal yang berbeda. Sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokalnya. Sebagaimana tercantum dalam bingkai kebhinekaan.

Budaya lokal yang memiliki nilai-nilai serta filosofi yang dalam tentang kehidupan. Menjadi daya tarik, kekhasan, keunikan yang menggambarkan Indonesia secara keseluruhan. Sehingga menjadi etalase bangsa dan negara.

Manakala kesejahteraan dan kelayakan hidup telah terpenuhi maka tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada warga atau masyarakat yang tinggal di daerah terdepan dan terluar untuk mengekspresikan atau mengaktualisasikan diri lewat kekayaan seni dan budaya lokalnya.

Apakah lewat tari-tarian, musik, seni suara, seni kriya, totem, tatoo atau aktivitas adat lain yang memiliki daya tarik sehingga menarik minat orang untuk melihat dan ingin tahu. Sehingga daerah terdepan dan terluar benar-benar menjadi beranda yang mengundang orang untuk mengunjunginya.

Karya seni (Foto: Jakarta post)
Supaya tidak ada lagi kata tertinggal dibelakang kata terdepan dan terluar.  Tetapi menjadi daerah yang memiliki keunikan tersendiri dengan daya tarik seni budaya lokal. Adat istiadat yang khas dan tidak ditemui atau dijumpai di daerah lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Itsmy blog

 It's my mine