Selasa, 29 Oktober 2019

Maaf, Ini Bukan Bahasa (Basa) Basi Indozone

(Foto:castbox.fm)
Saat Indozone menantang netizen untuk mereview websitenya lewat pengalaman saat membaca atau berinteraksi dengan berbagai macam jenis informasi yang disajikan. Terlintas sebuah pertanyaan di kepala, sungguh Indozone menerima catatan kritis pembacanya? Menerima bahasa yang bukan basa basi.

Benarkah www.indozone.id bersedia menerima paparan beberapa kekurangan terkait dengan tampilan maupun konten dari websitenya? Mampukah Indozone mengelola berbagai kekurangan yang disampaikan oleh pembacanya dengan cara yang cerdas, kreatif. Sehingga menjadikan Indozone bertransformasi ke arah yang lebih baik?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul karena tidak sedikit lomba review lebih mengedepankan pujian dari para peserta terkait keunggulan produk, barang atau jasa. Ketimbang pernyataan jujur, pahit bahkan terkadang membuat merah telinga.

Tidak sedikit penyelenggara lomba review membungkus keinginan untuk mendapatkan pujian terhadap produk barang serta jasanya dengan harapan sebagai bagian dari strategi branding, promosi dan pencitraan.

(Foto:pixabay)
Dalam syarat dan ketentuan kata-kata yang mengandung makna kritikan, kekurangan atau masukan dikemas sedemikian rupa. Sehingga membiaskan perhatian dan pemahaman peserta lomba. Review tidak lagi menyajikan keberimbangan tetapi cenderung menjadi keberpihakan.

Dilema review
Indozone pasti memahami dibalik pernyataan bahwa kenyataan itu kadang terlalu keras dan berat untuk seseorang. Kejujuran itu tidak jarang menyakitkan dan tidak mudah diterima. Mereka yang mampu melihat mutiara dbaliknya, biasanya akan mengerti pentingnya mengucapkan terimakasih setelah mendapat kritikan.

Manakala ungkapan kasih dalam bentuk kritikan dan masukan membangun diterima dengan lapang hati. Menghargai dengan ucapan terimakasih merupakan bentuk totalitas sebuah rasa untuk berterimakasih. Hadiah uang atau barang tidak akan pernah mampu menggantikan rasa dan keinginan untuk berterima kasih.

(Foto: Indozone)
Namun hubungan itu menjadi transaksional, mengurangi ketulusan manakala ada saling kepentingan yang terselubung. Satu pihak membungkus keinginan untuk dipuji, sementara pihak lain menginginkan balas jasa dalam bentuk hadiah.

Itu catatan pertama buat Indozone sebagai bahan renungan dalam mengelola bisnis di dunia maya. Ingat sifat warga netizen itu seperti kutu loncat, loyalitasnya patut sering dipertanyakan.

Kedua, nama domain Indozone kurang menunjukkan identitas diri sebagai apa dan siapa. Kata Indo sudah banyak yang menggunakan dari produk makanan, pertanian, peternakan, teknologi sampai satelit sudah banyak yang menggunakan atau memakainya. Branding merek produk akan sulit untuk diingat oleh konsumen atau user.

Pengalaman saya yang ingin mengetik kata Indozone, secara tidak sengaja salah ketik satu huruf langsung dengan mudah mengarahkan pada domain lain. Bukan Indozone dan saya sempat berlama-lama main di web yang secara tidak sengaja salah masuk kamar.

(Foto:alumnimaterdei)
Bagaimana jika waktu itu saya tiba-tiba terburu untuk melakukan aktivitas lain hingga akhirnya lupa dan tidak jadi bahkan tidak pernah lagi membuka Indozone dalam satu hari itu.

Hati-hati merah
Ketiga, pilihan warna merah mencolok yang begitu kontras dengan warna putih jadi pilihan Indozone kurang ramah untuk mata. Pada mulanya tampilan tersebut memang mampu menarik perhatian tetapi tidak lama kemudian pikiran ini ingin menggerakkan jari untuk swipe Indozone.

Tampilan warna Indozone membuat mata cepat lelah dan perih. Jika tetap menginginkan warna merah, ada baiknya Indozone lebih meredupkan warna merahnya. Atau mengganti warna yang lebih lembut di lihat dan tidak cepat membuat mata lelah.

(Foto: Indozone)
(Foto: istimewa)
Empat, terkait dengan penggunaan tagar #KAMUHARUSTAU, sah-sah saja menggunakannya sebagai kebebasan berekspresi yang dijamin oleh undang-undang. Namun sayang tagar itu terkesan memaksa. Jikalau pengunjung akhirnya mampir ke Indozone dan mendapati informasi yang disajikan kurang menarik dan kurang sesuai kebutuhan pembaca. Bukankah hal itu kontraproduktif dengan citra Indozone.

Masih terkait dengan tagar #KAMUHARUSTAU, web ini berisi tentang berbagai macam informasi sekaligus sebagai penyedia informasi. Maka tidak ada salahnya Indozone dapat menjadi penjaga nilai. Nilai kemanusiaan atau aturan yang ada. Tidak membiasakan atau mengedukasi dengan berbagai hal yang kurang pas. Tahu menjadi tau.

Tidak ada salahnya berkreasi tetapi apakah Indozone berkenan kata "i" diganti dengan "e" sehingga menjadi Endozone ? Bukankah pengucapannya hampir sama antara Indozone dengan Endozone sebagaimana kata "tahu" dengan "tau".

(Foto: pixabay)
Kelima terkait dengan foto yang dapat di swipe atau di geser dengan foto-foto kecil dalam lingkaran. Sebaiknya dipilih salah satu, sehingga dapat memuat informasi, gambar atau foto yang lain yang lebih dibutuhkan pengunjung Indozone. Contoh, kartun atau gambar animasi terkait dengan isu atau peristiwa yang sedang populer atau hangat jadi perhatian masyarakat.

Keenam, gambar grafis diperlukan Indozone untuk memperkuat berita atau informasi dalam bentuk teks. Sehingga akan menjadi lebih menarik untuk dilihat sehingga membuat pengunjung betah lama-lama di Indozone. Namun sayang gambar grafis yang ditampilkan masih terlalu banyak teks di dalamnya.

Pengunjung merasa cepat bosan dan halaman terlihat menjadi terlalu penuh. Semestinya cukup dengan gambar serta angka atau grafik yang mewakili informasi dalam bentuk teks. Bukan teks dikuatkan lagi dengan teks sehingga terkesan mubazir.

(Foto: Indozone)
Menggarami lautan
Tujuh, memilih segmentasi tentu memiliki latar belakang dan alasan. Namun mencermati isi informasi atau berita, pilihan Indozone dengan segmentasi umum sepertinya kurang kuat dalam potitioningnya. Sehingga kalah dengan dengan portal atau web sejenis yang menawarkan konten yang sama.

Indozone tidak memiliki unsur pembeda atau ciri yang membuat orang kalau ingin atau membutuhkan sesuatu ke Indozone. Dalam hal ini Indozone belum memiliki. Tidak ada salahnya untuk segera memperbaiki diri sebelum tergilas oleh persaingan. Jangan menggarami lautan.

Bagaimana saya mesti bercerita banyak dari kanal per kanal jika isinya nyaris tidak ada bedanya dengan portal berita lainnya. Jangan terlalu cepat berpuas diri karena banyak yang mampir atau "klik". Namun apalah artinya jika sepersekian detik jari ini menggesernya ke portal lain.

(Foto: Indozone)
Mari bangun negeri ini dengan kedalaman hati dan cara berpikir komprehensif, serta santun dalam bertutur kata atau bertindak. Salah satu caranya membaca konten menarik dan inspiratif yang dapat ditemukan di www.indozone.id . Ini sebuah tantangan buat Indozone.

 #INDOZONEBLOGREVIEWCONTEST

Kamis, 10 Oktober 2019

Karena Jakarta Terlalu Cepat Menjadi Tua

(Foto:antara berita satu)
Indonesia usianya baru 74 tahun namun ibu kotanya sudah nampak jelas lebih tua. Beban hidupnya jelas tergambar dalam wajah Jakarta, sarat dengan kemacetan dan hiruk pikuk berbagai aktivitas yang seolah tak pernah berhenti dari pagi, siang, malam dan sampai pagi lagi.
Lelah dan penat seolah tak pernah dirasa namun tak mampu disembunyikannya dari wajah Ibu Kota, sebagaimana gambaran wajah-wajah yang minim senyum penghuninya.
Hiasan wajah entah gabion atau karya instalasi bambu getih getah, menghias seperator jalan dengan cat warna-warni bahkan sampai memasang pohon plastik. Termasuk memasang berbagai macam lampu hias namun seperti tak mampu menghilangkan kerut-kerut wajah kota.
Perawatan wajah kota dari waktu ke waktu oleh para kepala daerah yang menjabat kala itu. Memang sedikit membantu wajah kota kembali nampak cantik dan terkadang nampak lebih muda serta mempesona. Sehingga mengundang para bujang dan pencari kerja untuk melakukan pedekate dengan cara tinggal di dekatnya atau ngekost di rumahnya.
(foto:cnnindonesia)
(foto:cnnindonesia)
Namun upaya mempercantik rupa kota malah mendatangkan masalah baru. Bisa jadi karena kurangnya koordinasi sampai egoisme sektoral dinas yang ingin kelihatan menonjol dan berprestasi dengan mengorbankan wajah Jakarta itu sendiri.
Maka tidak heran jika menemukan wajah Jakarta yang bopeng tertutup bedak tebal. Kawasan kumuh di pinggir sungai tertutup bangunan tinggi dengan rancangan arsitektur yang menawan. Belum lagi orang-orang yang tinggal di bawah kolong jalan layang. Tersamarkan lampu-lampu jalan yang menerangi jalan bukan orang.
(foto:the Jakarta post)
(foto:the Jakarta post)
Daya tarik Jakarta sebagai Ibu Kota, pusat pemerintahan sekaligus menjadi pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan jasa yang berskala nasional. Menjadikan Jakarta seperti magnet tersendiri bagi laron-laron yang ingin mencari terang dan hangatnya kehidupan.
(foto:kompas)
(foto:kompas)
Memoles wajah Jakarta oleh kepala daerah atau gubernur Jakarta seperti hal wajib yang sulit ditinggalkan oleh para gubernur yang pernah memimpin Jakarta. Sutiyoso, tidak lama setelah dilantik membuat patung-patung pahlawan sesuai nama-nama jalan yang ada.
Salah satu ikon Jakarta tugu Monas dipagari atas perintah Sutiyoso dengan tujuan melindungi nilai historis monumen tersebut dari pedagang kaki lima dan gelandangan. Wajah kota Jakarta semakin bersinar dengan memberi pencahayaan patung Selamat Datang di bunderan HI, setelah melakukan renovasi pada air mancurnya.
(foto: Wikimapia)
(foto: Wikimapia)
Tentu Jakarta semakin cantik dan tambah menarik, masalah urbanisasi semakin sulit dicegah. Jakarta bagaikan lampu atau cahaya yang menarik laron-laron. Tidak sedikit orang yang mencoba mencari peruntungan dengan hidup dan tinggal di Jakarta walau tidak memiliki ketrampilan serta pendidikan yang minim.
Urbanisasi menjadi masalah yang tidak mudah diatasi oleh pejabat kepala daerahnya. Kebijakan membatasi pendatang usai Idul Fitri pernah menjadi fokus perhatian Gubernur DKI Sutiyoso dalam upaya menahan laju pendatang yang terus bertambah karena tertarik dengan kerlap-kerlip kehidupan kota Jakarta.
Sutiyoso pernah menggulirkan wacana pembatasan penduduk Jakarta guna mengerem arus urbanisasi dengan menerbitkan Perda mengenai kependudukan yang mengatur persyaratan penduduk di DKI Jakarta seperti memiliki tempat tinggal dan pekerjaan tetap di Jakarta.
(foto:kompas)
(foto:kompas)
Menjaga Jakarta agar tidak bertambah tambun oleh jumlah penduduk yang semakin bertambah cukup cepat dalam kurun waktu singkat. Pernah dilakukan oleh Gubernur Soemarno yang menjabat di tahun 1960an dengan menginstruksikan ke RT dan RW untuk melaporkan setiap pendatang baru. Mereka yang tidak memiliki pekerjaan dilarang masuk. Tetapi kebijakan ini gagal.
Upaya diet dari tambahan penduduk dari  luar Jakarta dengan menjadikannya sebagai kota tertutup oleh Gubernur Ali Sadikin, juga mengalami kegagalan. Kesulitan juga dialami oleh Djarot Saiful Hidayat yang mencoba mengantisipasi arus urbanisasi untuk  melakukan pendataan bagi pendatang lewat RT dan RW.
Djarot meminta mereka pulang bila tidak memiliki identitas resmi sebagai warga DKI namun sebelum mereka pulang, mereka dibina di panti-panti yang disediakan Dinas Sosial DKI. Tetapi kebijakan tersebut tidak lama kemudian hilang seperti tertiup angin.
(foto:nbcnews)
(foto:nbcnews)
Wajah Jakarta yang bolak-balik dipermak dan terkadang kurang memperhatikan kebijakan yang ramah lingkungan serta berkelanjutan dari gubernur sebelum-sebelumnya.
Atau karena perilaku warganya yang kurang memperhatikan kondisi fisik Jakarta ikut memperparah keadaan Jakarta. Maka tidak heran jika Jakarta kelihatan cepat tua dari usianya.
Intruisi air laut ke daratan Jakarta membuatnya cepat keropos. Entah karena penurunan permukaan tanahnya. Akibat dari penggunaan air tanah yang sangat eksploitatif atau karena pemanasan suhu global yang menyebabkan naiknya permukaan air laut.
Demikian pula kualitas udara Jakarta yang menempati urutan pertama dalam beberapa hari di awal bulan Agustus. Jika pun tidak menempati urutan teratas, masuk dalam barisan sepuluh besar kota dengan kualitas udara terburuk. Jelas membahayakan bagi paru-paru dan saluran pernafasan warganya.
(foto: Tribunnews)
(foto: Tribunnews)
Gas buang rumah tangga, industri dan kendaraan yang tidak dikelola dengan baik jelas ancaman serius bagi hak hidup secara sehat. Paru-paru kota yang pernah digadang-gadang sebagai kebutuhan mendesak realisasi jauh dari harapan. Kemana hutan kota dan taman kota yang dapat memberikan kesejukan hati serta pikiran warganya.
Jika kebijakan berorientasi pada menyerap anggaran bukan sebaliknya. Anggaran dipergunakan untuk merealisasikan kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan, yang dapat mempertahankan Jakarta supaya tetap kelihatan muda, cantik dan menarik untuk dikunjungi.
Menjadikan Jakarta sebagai tempat tujuan wisata tidak salah. Tetapi apakah tempat-tempat wisata yang sudah ada ramah kepada wisatawan. Bukan hanya terkait layanan dan obyek wisata tetapi juga ramah edukasi akan pentingnya hiburan yang berkelanjutan.
(foto:kontak banten)
(foto:kontak banten)
Tidak heran jika Jakarta nampak cepat tua. Adakah beberapa tempat dan event hiburan yang tidak terurus atau hilang dalam kalender pariwisata di Jakarta?
Pindahnya ibu kota menjadi hal yang urgent dan mendesak agar Jakarta dapat kembali berbenah. Supaya menjadi kota yang lebih humanis, mengedepankan keseimbangan kepentingan penghuninya.
Salah satunya dengan mengurangi beban yang ditanggung sebagi kota, yang menjadi pusat pemerintahan. Terimakasih, Jakarta, sudah menjadi ibu kota.
Tulisan ini nampak juga di www.kompasiana.com/koin1903

Hanya Segitukah Menghias Ibu Kota ?


(Foto: kompas.com)

Menata Ibu Kota memerlukan keseriusan karena dari sana orang melihat beranda negara. Kesan pertama mesti baik, indah, unik dan menarik sehingga menimbulkan kesan mendalam supaya tidak  mudah dilupakan. Oleh karena itu menata kota mesti memperhatikan berbagai macam aspek. Bukan alakadarnya, sekedar pasang, nir pesan dan kesan.
Ibu Kota itu menjadi beranda negeri. Tamu-tamu penting dari berbagai negara yang memiliki pengaruh dalam hubungan bilateral dan kekuasaan di negaranya. Datang dan pergi dalam waktu singkat atau lama. Melihat Indonesia melalui Jakarta, bukannya tidak mungkin dianggapnya sudah melihat Indonesia. Kemudian di kepalanya terlintas sejumlah rencana.
Sebuah keputusan  atau kebijakan tidak sedikit terinspirasi oleh peristiwa atau sesuatu yang sederhana. Apalagi jika melihat Jakarta merasakan kesan positif. Bukannya tidak mungkin, kemudian muncul berbagai gagasan pentingnya menggandeng Indonesia untuk bekerjasama yang saling menguntungkan.
Maka cukup mengherankan bila menata kota di salah satu taman di pusat kota dimaknai sebagai aktivitas yang remeh. Hanya.

Kepala Dinas Kehutanan dan Pertamanan DKI Jakarta, Suzi Marsita mengatakan instalasi Gabion bukan karya seni seperti Getih Getah karya Joko Avianto. Menurutnya, instalasi Gabion itu hanya sebagai penghias kota menyambut HUT ke-74 RI kemarin. (Merdeka.com/23/8/2019)
Hanya penghias kota. Hanya segitukah menghias kota? Jakarta Ibu Kota negara sampai saat ini masih Ibu Kota. Belum pindah walau sudah diputuskan pilihan kota baru untuk Ibu Kota Republik Indonesia.
Jika gabion bukan seni, tidak heran muncul pro kontra atas keberadaannya di taman yang terletak di pusat kota. Dari dana cukup besar untuk sebuah hiasan yang bukan seni, sampai mempertanyakan maksud serta tujuan membuat hiasan tersebut. Jika gabion tersebut tidak memiliki nilai seni maka apa bedanya dengan bronjong ?
(foto:tebar)
(foto:tebar)
Jika tumpukan batu yang ditempatkan dalam sebuah keranjang besar terbuat dari sulaman kawat bukan seni. Maka tidak heran jika upaya menghias kota Jakarta tidak terasa ruh estetikanya. Jakarta menjadi miskin akan nilai-nilai keindahan.
Menghias kota hanya sekedar kewajiban dan tugas. Mengesampingkan sentuhan cita rasa seni. Hasilnya, hiasan taman-taman di Ibu Kota terasa kering. Tidak ada "dialog" yang intim antara bangunan atau benda yang berada di taman dengan mereka yang ada di kota.
Jika tumpukan batu itu bukan seni mengapa ditempatkan di tengah kota. Artinya tumpukan batu itu seperti barang lainnya yang sifatnya lebih mementingkan fungsinya.  Tidak harus repot memikirkan unsur harmoni. Bentuk, pesan dan kesan bagi mereka yang melihatnya.
Jika bukan seni maka tumpukan batu dalam kranjang kawat di taman bundaran HI, keberadaannya mestinya fungsional. Seperti menahan longsoran tanah atau tebing di pinggir sungai. Dikenal dengan nama bronjong. Maka kurang tepat meletakkan bronjong di tengah kota. Apalagi tanah taman kota di bunderan HI tidak rawan longsor karena cenderung landai, tidak berbukit. Maka menempatkan bronjong tidak sesuai peruntukannya.
(foto:kebur)
(foto:kebur)
Gabion itu tumpukan batu dalam kranjang. Ditata sedemikian rupa memperhatikan nilai-nilai estetika. Keberadaannya bukan hanya fungsional tetapi juga memberi nilai tambah. Supaya lingkungan  sekitar gabion menjadi lebih menarik dan  indah.
(foto:indiamart)
(foto:indiamart)
Gabion berbeda dengan bronjong. Gabion memiliki nilai serta fungsi  yang lebih dibandingkan dengan bronjong.  Oleh karena gabion bukan sekedar hiasan tetapi juga memiliki fungsi mempercantik sebuah tempat atau ruang terbuka. Memperindah taman di komplek perumahan atau taman kota, sehingga membuat kota nampak lebih ramah. Tidak kaku serta monoton.
(foto:Alibaba)
(foto:Alibaba)
Karya  seni instalasi menjadikan kota memiliki sentuhan rasa tentang keindahan. Bukan sekedar benda atau barang yang mengisi lahan atau ruang kosong.
Aneh jika gabion bukan seni tapi hanya sekedar hiasan. Bukankah hiasan itu juga mengandung unsur seni? Atau jangan-jangan selama ini dalam menghias taman kota jauh dari melibatkan citra seni. Sehingga hasilnya terasa kaku, kering atau hambar. Kurang memberi makna bagi warga kota, yang penting sekedar ada.
(foto:detik)
(foto:detik)
Apakah Jakarta akan menjadi kota yang dingin dan kaku, kurang ramah terhadap penghuni dan tamu-tamunya ? Apa jadinya Jakarta jika sudah tidak menyandang status sebagai Ibu Kota? Ah, semua  berpulang pada warganya.

Artikel ini menghiasi www.kompasiana.com/koin1903

Itsmy blog

 It's my mine