Minggu, 22 September 2019

Aksi Sederhana Membudayakan Kegiatan Literasi di Keluarga dan Kampung

(Foto:berdikaribook) 
Literasi itu tidak sebatas pada kegiatan membaca, merenungkan dan memahami teks cetak atau digital sehingga menjadi bagian pengetahuan yang ada dalam diri. Tetapi berlanjut pada upaya mengembangkan potensi tersebut dalam bentuk nyata yang bermanfaat bagi sesama dan lingkungan sekitar.

Membaca kata literasi, ingatan ini langsung dibawa ke masa sewaktu umur masih  sepuluh tahunan. Liburan sekolah di rumah atau di rumah nenek. Kala itu musim kemarau, ingin main ke rumah sepupu, malas karena terik matahari yang membuat jalanan berdebu dan panas.

Berdiam diri di rumah merupakan pilihan tetapi rasa bosan menjadi musuh utama. Untuk mengatasinya saya membongkar rak buku., yang koleksinya tidak pernah bertambah. Mencari buku dengan harapan ada halaman yang belum pernah dibaca.

(Foto: Tribunnews/floblamor)
Buku yang kami miliki umumnya buku lama atau majalah bergambar seperti komik. Ada juga buku tidak bergambar, dalam satu buku kurang dari sepuluh gambar. Dikemudian hari saya baru mengetahui, buku itu dinamakan novel.

Mengawali dari buku
Buku itu milik ibu yang jadi satu dengan majalah, buku resep dan beberapa buku-buku milik bapak yang isinya terkait dengan pekerjaannya. Waktu itu saya sering membuka-bukanya walau tidak tahu apa maksud dan isi buku itu. Saya cukup puas dengan melihat gambar-gambarnya. Tentang teknik beladiri dan tafsir mimpi plus angka-angkanya.

Kegiatan bongkar-bongkar buku menjadi kegiatan rutin saat memasuki liburan sekolah, jika tidak ada teman untuk diajak bermain karena mereka pergi atau karena cuaca panas. Membuka-buka, membaca ulang hingga hafal isi ceritanya.

Dari sekian buku lama di rumah, ada buku atau majalah pengetahuan populer yang belum saya mengerti isinya. Buku itu biasanya nenjadi teman pengantar tidur, saat siang atau malam. Walau ibu sering marah mengetahui saya membaca sambil tiduran.

(foto:pixabay)
Kebiasaan itu terus berlanjut sampai saya duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Saat itu saya baru memahami isi novel cerita anak dengan meminjam di perpustakaan sekolah.

Keberadaan buku-buku lama yang sudah lusuh sampulnya, secara tidak sengaja menjadikan saya gemar membaca buku. Saat memasuki usia remaja, saya kerap menyewa komik atau membeli majalah remaja.

Seturut perkembangan umur, kemampuan saya dalam memahami aneka macam buku semakin bertambah. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Umum, saya gemar berkunjung ke perpustakaan daerah. Disana saya seperti menemukan kepuasan tersendiri, hampir semua buku menggoda.

Setiap usai pelajaran sekolah khususnya Jumat dan Sabtu, berkunjung ke perpustakaan seperti kewajiban yang tidak dapat ditawar.  Apakah saya seorang kutu buku ? Entahlah.

Perpustakaan (foto: ko in) 

Literasi adalah......
Saat ini muncul istilah literasi yang artinya kegiatan bukan sekedar membaca teks dalam bentuk tulisan cetak atau digital. Literasi itu bagian dari aktivitas intelektual seseorang dalam rangka mengembangkan kemampuan akal budinya, supaya menjadi mahluk yang beradab dalam memaknai zaman dengan berbagai perubahannya.

Kemampuan seseorang dalam membaca tanda-tanda zaman tidak mungkin didapat dalam semalam, hanya membaca satu buku sampai selesai halamannya. Sebab kegiatan literasi itu tidak cukup dengan membaca.

Unesco mendefinisikan literasi sebagai kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi dan menghitung dengan menggunakan bahan tertulis cetak atau digital yang terkait dengan berbagai konteks.

(Foto:slideplay)
Kegiatan literasi melibatkan rangkaian pembelajaran, yang memungkinkan setiap orang atau individu mampu mencapai apa yang menjadi tujuan terkait dengan pengembangan pengetahuan serta potensi diri. Supaya dapat terlibat dan berpartisipasi dalam komunitas baru lingkungan dimana dirinya tinggal serta berada.

Kegemaran saya membaca berlanjut mendorong saya untuk mengeluarkan pergolakan pikiran serta perasaan dalam sebuah tulisan. Walau awalnya hanya dalam bentuk puisi-puisi cengeng atau galau.

Keberadaan buku-buku tua di rak waktu itu yang sering saya baca berkali-kali pada masa kecil. Menyadarkan saya untuk menyempurnakan, bagaimana cara menumbuhkan kegemaran membaca pada anak-anak saya. Mengingat hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga nasional atau internasional minat baca kita sangat rendah.

(foto:Tirto)
Tujuh tahun lalu, Unesco merilis data dari setiap 1.000 orang Indonesia hanya satu yang memiliki minat baca. Bahkan di tahun 2015 skor membaca pelajar Indonesia menurut data Program for Internasional Student Assessment berada di urutan 69 dari 76 negara, respondennya anak-anak sekolah usia 15 tahun.

Saya terbiasa meletakkan berbagai macam buku di atas meja kerja. Bahkan terkadang di tempat tidur sehingga siapa saja yang ada di rumah dapat melihat buku apa yang sedang saya baca. Baik sebagai pengantar tidur atau mengisi waktu luang di rumah. Tujuannya untuk memberi contoh pada anak-anak supaya gemar membaca.

Buku (foto:ko in)
Itu adalah salah satu cara bagaimana menumbuhkan #literasikeluarga. Sebab kegiatan literasi bukan hanya sekedar membaca tetapi juga kemampuan untuk mengembangkan potensi diri.

Peran di keluarga 
Beberapa hal yang saya lakukan di keluarga diantaranya:
  • Pertama, memberi contoh untuk gemar membaca. Selalu mengisi waktu luang dengan membaca, frekuensi membaca buku lebih banyak dibandingkan dengan waktu untuk menonton televisi atau sibuk melihat layar smartphone.
  • Kedua, sering mengajak anak berkunjung ke perpustakaan dengan cara menunjukkan koleksi perpustakaan dan menjadi anggota sehingga memudahkannya untuk meminjam buku yang disukai atau digemari.
  • Ketiga, sesekali mengajak anak untuk belanja buku di toko buku. Apalagi saat ada pesta diskon membiarkan anak untuk memilih buku-buku yang disukai.
  • Keempat, jika anak menunjukkan rasa malas membaca, saya terbiasa menawarkan diri pada anak-anak untuk dipinjamkan buku jenis apa di perpustakaan.
Dari kebiasaan memperhatikan kesenangan jenis buku yang kerap dilihat atau dipinjam anak, saya menjadi mengerti buku apa yang menjadi kesukaannya. Buku tentang hewan dan bintang kerap menjadi tujuan pertama yang dicari saat di perpustakaan atau toko buku.

Maka saat dia kebingungan dalam menentukan jurusan atau fakultas yang menjadi pilihan untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Saya dengan mudah memberikan tiga tawaran kepadanya. Fakultas Peternakan, Kedokteran Hewan atau Kehutanan. Rupanya dia cenderung memilih pilihan terakhir setelah berdiskusi cukup lama.

Saat ini dia sedang menyelesaikan kuliahnya di fakultas kehutanan ditambah dengan kegemarannya dalam memelihara beberapa hewan reptil seperti ular dan iguana, tidak ketinggalan kura-kura.

Iguana (foto:ko in)
Ular hias peliharaan anak (foto: Ady)
Dengan hobinya itu dia aktif dalam berbagai komunitas penggemar reptil dan belajar menjadi intepreneuer dengan teman-temannya. Maka literasi bukan sekedar kemampuan membaca tetapi juga kemampuan untuk mewujudkan potensi diri.  Syukur kalau dia dapat mendokumentasikan kegiatan serta pengalamannya dalam bentuk tulisan atau gambar.

Komunitas penggemar reptil (foto:Ady)
Guna mengembangkan budaya literasi dalam keluarga yang dibutuhkan adalah contoh atau teladan bukan sekedar kata-kata. Maka tidak ada salahnya orang tua mulai mendokumentasikan pengalaman hidup anak-anaknya dan dirinya dalam bentuk teks atau gambar. Tulisan atau video sebagai sarana pembelajaran yang efisien bagi generasi selanjutnya.

Peran di masyarakat
Bagaimana peran saya sebagai dalam mengembangkan budaya literasi di masyarakat terdekat? Mari bersama mengawali dengan membangkitkan kesenangan membaca buku di lingkungan tempat tinggal. Membentuk perpustakaan di kampung atau desa dengan sasaran utama anak-anak. Menjadikan buku #sahabatkeluarga, langkahnya:
  • Pertama, menyediakan sarana serta prasarana seperti tempat dan buku-buku bacaan untuk anak-anak. Tidak harus baru tetapi yang masih dapat digunakan atau manfaatkan. Tempat dapat mengoptimalkan balai pertemuan RT atau pos ronda.
  • Kedua, penyediaan buku dapat bekerjasama dengan perpustakaan daerah, dimana kita dapat meminta sumbangan buku sesuai kebutuhan untuk mengisi koleksi  buku di balai RT atau pos ronda. Tidak sedikit perpustakaan yang dikelola pemerintah daerah menerima sumbangan buku bekas dari masyarakat dalam bentuk bank buku. Sehingga buku tersebut dapat disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan.
  • Ketiga, menyusun jadwal bersama agar anak-anak di kampung mempunyai waktu yang sama untuk mengunjungi perpustakaan desa atau kampung. Apakah anak-anak akan didampingi orang tuanya atau datang sendiri tergantung perkembangan kemandirian anak.
  • Keempat, di periode waktu tertentu membuat kegiatan untuk membuat replika benda atau mahluk hidup seperti yang sudah dilihat atau dibaca dari bahan-bahan yang ada di sekitar. Kegiatan ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan Paud setempat.
Kegiatan tersebut untuk menumbuhkan minat baca sekaligus belajar mengenali potensi anak-anak, sebagai aktualisasi kegiatan literasi yang dapat menjadi sarana mengenali potensi anak.

Kegiatan Paud (foto: ko in)
Harapannya masyarakat tidak merasa aneh atau asing jika melihat orang lain memiliki hobi atau aktivitas yang unik. Tidak mudah berprasangka buruk melihat sesuatu yang berbeda. Sebab tidak sedikit aktivitas yang tidak umum dapat mendatangkangkan keuntungan, termasuk keuntungan finansial.

Senin, 16 September 2019

Gisel, Mengapa Iri ?

(Foto:kompas)

Mengapa masih merasa iri Gisel, tidak ada yang nyinyir terkait kepergian mantan suamimu ke Bali. Jika dirimu mengaku sudah tidak terlalu memikirkan pendapat netizen atau warganet sebab hanya akan menggangu pikiran.
Pendapat seseorang atau yang terkait dengan seseorang tidak lepas dari apa yang pernah dilakukan. Sebab hal itu tidak terlepas dari perjalanan hidup atau sejarah hidup seseorang.
Setiap orang memiliki standar penilaian tentang yang ideal dan yang patut. Manakala gambaran yang ideal itu runtuh karena sosok ideal itu tidak dapat memenuhi apa yang menjadi harapan. Maka yang terjadi kekecewaan.
Demikian juga dengan pendapat publik atau masyarakat menyikapi figur artis, khususnya terhadap Gisel di media sosial. Pada mulanya, Gisel adalah harapan. Gisel adalah panutan. Gisel adalah nilai ideal yang ingin dicontoh. Gisel dengan kecantikan, kemampuan personal saat tampil di media, menjadi harapan dan representasi tentang yang baik bagi masyarakat.
(foto: liputan 6)
(foto: liputan 6)
Manakala publik, penonton, masyarakat tidak dapat mewujudkan hal ideal pada dirinya sendiri. Mereka memindahkan ke figur lain yang dirasa cocok, untuk mewakili harapan dan keinginan yang tidak tercapai.
Sadar atau tidak, publik  masih kecewa dengan runtuhnya rumah tangga Gisel Gading. Kemudian diutarakan dalam berbagai bentuk. Entah ungkapan halus sampai yang kasar. Bahkan dalam beberapa kasus lain ada yang tidak cukup dengan kata vulgar tetapi juga tindakan.
Ungkapan hati Gisella Anastasia yang bernada keirian terhadap mantan suaminya Gading nampak manakala menjawab sebuah pertanyaan dari wartawan. Namun jawabannya mengandung kegetiran terkait masalah rumah tangganya.
"Mas Gading lagi ke Bali, nih. 'Tuh, kalau bapaknya ke Bali, enggak ada yang nyinyir.' Kalau saya yang ke Bali, (saya) dibilang puber," kata Gisel (16/8/2019) ditemui dalam acara ulang tahun Rafathar di Jakarta, (kompas.com).
(foto:Jpnn)
(foto:Jpnn)
Perlakuan berbeda menurut anggapan  Gisel dari Netizen merupakan bagian dari kekecewaan publik. Mereka mencoba mencari tahu akar masalah. Manakala publik merasa menemukan salah satu pasangan sebagai sumber perpisahan dan perpecahan sebuah nilai. Maka publik tidak enggan mencibir, nyinyir, menyalahkan, melakukan bully yang tidak ada habisnya.  
Benar atau salah jawaban yang diperoleh, dapat dipercaya atau tidak kebenarannya. Kurang mendapat perhatikan. Sehingga terbentuk opini publik.

Walau kemudian Gisel mengaku tidak terlalu memikirkan pendapat Netizen atau opini publik.Namun dengan membandingkan reaksi warganet terhadap dirinya dengan mantan suaminya. Ini menunjukkan masih ada kepedulian, pikiran dan keinginan tahu Gisel akan reaksi publik terhadap dirinya.
(foto:WowKeren)
(foto:WowKeren)
Menjadi perhatian banyak orang, populer adalah salah satu keinginan sebagian orang. Khususnya para selebritis. Mengejar ketenaran, menjadi pusat perhatian merupakan kepuasan tersendiri yang memaknai perhatian adalah keberhasilan dari usaha mewujudkan eksistensi.
Pada dasarnya setiap orang membutuhkan perhatian. Dengan perhatian dirinya merasa diperlukan. Keberadaannya berarti. Entah melakukan perbuatan atau tidak.
Seseorang yang mendapat perhatian secara psikologis membuat dirinya merasa nyaman dan aman karena merasa tidak sendirian. Kemajuan teknologi komunikasi membantu seseorang menjadi lebih mudah memaknai diri ada artinya bagi orang lain. Khususnya yang menghubungi lewat smartphone atau gadget atau yang menanggapi dengan komentar di wall atau status di  media sosial. Walau itu nyinyir sekalipun.
(foto: WowKeren)
(foto: WowKeren)
Apakah keirian Gisel yang mendapat perhatian lebih, dari Netizen. Dibandingkan mantan suaminya. Tidak dimaknai positif masih  ada kepedulian dan perhatian dari publik?  Walau perhatian yang diperoleh lebih bermakna negatif karena Netizen banyak nyinyir pada dirinya. Dibandingkan perhatian publik pada mantan suaminya.
Kemampuan memaknai peristiwa secara menyeluruh memang tidak mudah. Membutuhkan kelapangan dan kedewasaan hati dalam menyikapi perbuatan atau tindakan. Baik aksi atau reaksi.
Tinggal bagaimana menempatkan dalam sudut pandang dimana dan yang mana. Rasa iri Gisel boleh jadi benar. Kenapa Netizen kerap nyinyir jika Gisel melakukan sesuatu. Atau barangkali kita, netizen yang gemar menghakimi lewat kata-kata nyinyir. Tanpa mencoba lebih tahu duduk perkaranya. Yang penting posting dulu karena kecewa, tidak memperoleh sesuatu seperti diharapkan terkait apa yang terjadi dengan publik figurnya.
(foto:Asni)
(foto:Asni)
Atau kita tidak menyadari bahwa kita yang sebenarnya iri pada Gisel ? Tentu bukan terkait dengan perjalanan rumah tangganya.

Tulisan ini iri klu gak ada di www.kompasiana.com/koin1903

Minggu, 08 September 2019

Namanya Tanjung, Wangi dan Usia Bisa Sampai 100 Tahun


Namanya Tanjung, Wangi dan Usia Bisa Sampai 100 Tahun
Mataram Boulevard (foto: Ko In)

Pertama kali aku datang, jalan-jalan kota ini menyapaku ramah dengan kerindangan. Pohon di kanan kiri jalan seperti memayungiku dari sengatan sinar matahari, saat aku telusuri trotoar. Sayup-sayup aku dengar canda burung dengan suaranya yang riuh. Beberapa diantaranya berkejar-kejaran dengan terbang berpindah dari pohon satu ke pohon lainnya.

Jalan kaki di salah satu kawasan kota,  yang teduh oleh pohon, sungguh terasa menyenangkan. Apalagi ditemani beberapa pohon yang sebenarnya tidak terlalu besar namun tingginya dapat mencapai lebih dari lima belas meter. Bahkan usianya dapat mencapai seratus tahun.  Untuk memeluknya, bisa dilakukan sendiri. Tetapi terkadang butuh satu orang lagi.
Saat aku sampai di kota ini, pohon-pohon tersebut sudah besar. Memberi keteduhan suasana sepanjang jalan. Pohonnya berdiri rapi dan jaraknya teratur. Selalu menyapa ramah saat aku lewat didekatnya, dengan menebar bau wangi dari bunga diantara pucuk-pucuk dahan. Pagi hari, wanginya dapat tercium dari jauh. Ketika berjalan melewatinya menuju tempat pemberhentian bus kota, yang akan mengantarku ke kampus.
Pohon Tanjung di Jl.Atmo Sukarto (foto:Ko In)
Pohon Tanjung di Jl.Atmo Sukarto (foto:Ko In)
Siang hari, pohon-pohon ini seolah ingin mengajak aku berkenalan lewat bantuan tiupan angin yang menerbangkan daunnya mengenai tubuhku, seperti colekan. Atau ingin mengajakku bermain dengan menjatuhkan buahnya yang berwarna kuning atau merah tepat di kepala. Mungkin karena hafal setiap hari aku melewatinya. Baru beberapa langkah sesaat setelah turun dari bus kota.
Terkadang merasa sayang melihat buah pohon jatuh di jalan kemudian dilindas beraneka macam kendaraan. Membuat aspal yang berwarna hitam penuh dengan noktah-noktah kuning dan merah...
Pohon Tanjung sbg pemisah jalur (foto:Ko In)
Pohon Tanjung sbg pemisah jalur (foto:Ko In)
Dikota ini, pohon tanjung memberi aku pelajaran bagaimana menghargai lingkungan dengan segala mahluk hidupnya. Belajar dari pohon tanjung yang lebih dahulu hadir di kota ini, tentang pentingnya arti keteduhan dan kesehatan bagi sebuah kota. Agar burung dan manusia seperti aku, betah dan kerasan untuk tinggal di kota ini .
Ingin sejenak melepas kepenatan dan kesibukan dengan duduk di bawah pohon Tanjung, menghirup oksigen yang dikeluarkan supaya segar pikiran. Setelah cukup, dapat meneruskan aktivitas dengan tubuh yang terasa segar karena telah mendapatkan suplai oksigen yang cukup darinya. Tentu tidak lupa sambil menyegarkan tenggorokan dengan es jaipong.
Ada juga pohon beringin (foto: Ko In)
Ada juga pohon beringin (foto: Ko In)
Aku suka pulang berjalan kaki usai dari kampus atau rumah rekan dengan ditemani pohon-pohon tanjung, yang membelah jalan. Pohon-pohon yang sekaligus berfungsi sebagai pemisah jalan, jalur kiri dan kanan. Kata orang Eropa, jenis jalan itu disebut boulevard.
Jadi teringat lagu lawas yang berjudul sama, Boulevard. Apakah lagu itu terinspirasi dari keindahan lingkungan boulevard atau di boulevard ada cerita yang sentimentil dari pengarangnya Dan Byrd. Ah, entahlah. I don't know.
I don't know why / You said goodbye / Just let me know you didn't go / Forever my love / Please tell me why / You make me cry / I beg you please I'm on my knees / If that's what you want me to //
RefNever knew that it would go so far / When you left me on that boulevard / Come again you would release my pain /And we could be lovers again //
Just one more chance / Another dance / And let me feel it isn't real / That I've been losing you / This sun will rise / Within your eyes / Come back to me and we will be / Happy together//
Ref........Never knew that it would go so far / When you left me..... 
Maybe today / I'll make you stay / A little while just for a smile / And love together / For I will show / A place I know / In Tokyo where we could be / Happy forever //
Ref: .........Never knew that it would go so far / When you left me......

Mataram Boulevard siang hari (foto: Ko In)

Mataram Boulevard siang hari (foto: Ko In)

Pohon tanjung di kawasan Kota Baru, yang jelas tidak akan pernah meninggalkanku tetapi akan selalu merindukanku untuk kembali ke Yogyakarta. Demikian pula dirimu yang pernah lama tinggal di Yogya atau sekedar liburan beberapa hari di Yogya. Rindukan Yogya.
Menikmati suasana Kota Baru dengan banyak pohon Tanjung, seperti di Jl. Suroto malam hari. Terasa bagaimana sebuah kota di rancang secara matang oleh orang Belanda kala itu. Jalan ini pada mulanya bernama Mataram Boulevard kemudian berubah jadi Jl. Widoro karena di sekitarnya terdapat pohon widoro.
Kemudian berubah jadi Jl. Suroto sampai sekarang. Untuk menghargai jasa Suroto yang gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada peristiwa yang dikenal dengan pertempuran Kota Baru (7/10/1945).
Kota Baru Yogyakarta, menurut sejarahnya adalah hasil pengembangan sebuah kota yang dirancang sesuai kebutuhan pertambahan sejumlah penduduk, tanpa meninggalkan aspek lingkungan hidup agar kawasan tersebut dapat menjadi tempat tinggal yang nyaman.
Jl. Suroto Yogya atau Mataram Boulevard (foto: Ko In)
Jl. Suroto Yogya atau Mataram Boulevard (foto: Ko In)
Bertambahnya jumlah orang Belanda waktu itu, terkait berkembangnya industri gula, perkebunan, dan golongan profesional yang bekerja di bidang perdagangan, kesehatan dan pendidikan yang membutuhkan tempat baru.
Dalam buku Toponim Kota Yogyakarta, pihak Residen Cannes mengajukan permohonan kepada Sri Sultan untuk diberi tempat khusus bagi orang-orang Eropa, lokasinya di sebelah timur sungai Code. Dikenal dengan Nieuwe Wijk atau Kota Baru pada masa sekarang.
Kawasan yg ditata secara matang (foto: Ko In)
Kawasan yg ditata secara matang (foto: Ko In)
Dalam catatan sejarahnya, kawasan Kota Baru Yogyakarta dulu banyak ditumbuhi pohon perindang yang berbau harum bunganya dan pohon buah.
Sisa-sisa bagaimana orang Belanda dalam membangun sebuah kawasan, sangat memperhitungkan aspek lingkungan dapat dilihat dengan halaman luas di rumah, tempat ibadah dan rumah sakit. Dimana ditanami pohon buah atau pohon yang menyebarkan bau harum. Di sepanjang jalan, kanan kiri jalan atau di tengah jalan, sebagai pembatas jalur jalan yang berlawanan arah.
Membangun gedung di negeri tropis, orang Belanda memperhatikan unsur sirkulasi udara dan cahaya. Seperti membuat jendela serta pintu yang besar dan tinggi dengan kaca. Sayang beberapa bangunan tersebut kini nampak tenggelam oleh bangunan baru yang tinggi dan bertingkat.
Rumah di Jl. Suroto (foto:Ko In)
Rumah di Jl. Suroto (foto:Ko In)
Anggrek menemani Tanjung (foto:Ko In)
Anggrek menemani Tanjung (foto:Ko In)
Mataram Boulevard atau Jl. Suroto kini sudah bersolek, sehingga pohon-pohon Tanjung nampak sedap dilihat.  Nampak lebih cantik dan diberi teman tanaman anggrek dan tanaman lainnya.
Sebagai sebuah kawasan, Kota Baru bagaikan sebuah taman kota. Sedikit membantu mengurangi polusi udara kota Yogyakarta, akibat semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor. Di jam sibuk saat liburan atau usai jam kantor, jalan sekitar Kota Baru selalu padat dengan kendaraan sehingga menimbulkan kemacetan.
Padat saat weekend (foto:Ko In)
Padat saat weekend (foto:Ko In)
Kehadiran pohon-pohon tanjung di kawasan ini setidaknya dapat mengurangi tingkat polusi sebuah kota. Walau kemampuan pohon tanjung dalam menyerap timbal rendah tetapi cukup tahan terhadap pencemaran udara sehingga tidak mudah rusak atau mati. Tidak heran jika usia tanjung dapat mencapai 100 tahun dan telah direkomendasikan sebagai pohon pelindung perkotaan di seluruh dunia.
Mataram Boulevard malam hari (foto: Ko In)
Mataram Boulevard malam hari (foto: Ko In)
Bagaimana sudah kenalan sama pohon tanjung saat ngadem atau menikmati es jaipong di kawasan Kota Baru Yogyakarta ? Jaga dan sapa dia. Jangan engkau siram dengan kuah sisa bakso atau dipaku untuk menempel poster kegiatan seni dan seminar di kampusmu.
Bisa jadi pohon tanjung itu seusia nenek atau kakek buyutmu.

Pohon tanjung ini berdiri juga di www.kompasiana.com/koin1903

Itsmy blog

 It's my mine