(Foto:antara berita satu) |
Indonesia usianya baru 74 tahun namun ibu kotanya sudah nampak jelas lebih tua. Beban hidupnya jelas tergambar dalam wajah Jakarta, sarat dengan kemacetan dan hiruk pikuk berbagai aktivitas yang seolah tak pernah berhenti dari pagi, siang, malam dan sampai pagi lagi.
Lelah dan penat seolah tak pernah dirasa namun tak mampu disembunyikannya dari wajah Ibu Kota, sebagaimana gambaran wajah-wajah yang minim senyum penghuninya.
Hiasan wajah entah gabion atau karya instalasi bambu getih getah, menghias seperator jalan dengan cat warna-warni bahkan sampai memasang pohon plastik. Termasuk memasang berbagai macam lampu hias namun seperti tak mampu menghilangkan kerut-kerut wajah kota.
Perawatan wajah kota dari waktu ke waktu oleh para kepala daerah yang menjabat kala itu. Memang sedikit membantu wajah kota kembali nampak cantik dan terkadang nampak lebih muda serta mempesona. Sehingga mengundang para bujang dan pencari kerja untuk melakukan pedekate dengan cara tinggal di dekatnya atau ngekost di rumahnya.
(foto:cnnindonesia)
Namun upaya mempercantik rupa kota malah mendatangkan masalah baru. Bisa jadi karena kurangnya koordinasi sampai egoisme sektoral dinas yang ingin kelihatan menonjol dan berprestasi dengan mengorbankan wajah Jakarta itu sendiri.
Maka tidak heran jika menemukan wajah Jakarta yang bopeng tertutup bedak tebal. Kawasan kumuh di pinggir sungai tertutup bangunan tinggi dengan rancangan arsitektur yang menawan. Belum lagi orang-orang yang tinggal di bawah kolong jalan layang. Tersamarkan lampu-lampu jalan yang menerangi jalan bukan orang.
(foto:the Jakarta post)
Daya tarik Jakarta sebagai Ibu Kota, pusat pemerintahan sekaligus menjadi pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan jasa yang berskala nasional. Menjadikan Jakarta seperti magnet tersendiri bagi laron-laron yang ingin mencari terang dan hangatnya kehidupan.
(foto:kompas)
Memoles wajah Jakarta oleh kepala daerah atau gubernur Jakarta seperti hal wajib yang sulit ditinggalkan oleh para gubernur yang pernah memimpin Jakarta. Sutiyoso, tidak lama setelah dilantik membuat patung-patung pahlawan sesuai nama-nama jalan yang ada.
Salah satu ikon Jakarta tugu Monas dipagari atas perintah Sutiyoso dengan tujuan melindungi nilai historis monumen tersebut dari pedagang kaki lima dan gelandangan. Wajah kota Jakarta semakin bersinar dengan memberi pencahayaan patung Selamat Datang di bunderan HI, setelah melakukan renovasi pada air mancurnya.
(foto: Wikimapia)
Tentu Jakarta semakin cantik dan tambah menarik, masalah urbanisasi semakin sulit dicegah. Jakarta bagaikan lampu atau cahaya yang menarik laron-laron. Tidak sedikit orang yang mencoba mencari peruntungan dengan hidup dan tinggal di Jakarta walau tidak memiliki ketrampilan serta pendidikan yang minim.
Urbanisasi menjadi masalah yang tidak mudah diatasi oleh pejabat kepala daerahnya. Kebijakan membatasi pendatang usai Idul Fitri pernah menjadi fokus perhatian Gubernur DKI Sutiyoso dalam upaya menahan laju pendatang yang terus bertambah karena tertarik dengan kerlap-kerlip kehidupan kota Jakarta.
Sutiyoso pernah menggulirkan wacana pembatasan penduduk Jakarta guna mengerem arus urbanisasi dengan menerbitkan Perda mengenai kependudukan yang mengatur persyaratan penduduk di DKI Jakarta seperti memiliki tempat tinggal dan pekerjaan tetap di Jakarta.
(foto:kompas)
Menjaga Jakarta agar tidak bertambah tambun oleh jumlah penduduk yang semakin bertambah cukup cepat dalam kurun waktu singkat. Pernah dilakukan oleh Gubernur Soemarno yang menjabat di tahun 1960an dengan menginstruksikan ke RT dan RW untuk melaporkan setiap pendatang baru. Mereka yang tidak memiliki pekerjaan dilarang masuk. Tetapi kebijakan ini gagal.
Upaya diet dari tambahan penduduk dari luar Jakarta dengan menjadikannya sebagai kota tertutup oleh Gubernur Ali Sadikin, juga mengalami kegagalan. Kesulitan juga dialami oleh Djarot Saiful Hidayat yang mencoba mengantisipasi arus urbanisasi untuk melakukan pendataan bagi pendatang lewat RT dan RW.
Djarot meminta mereka pulang bila tidak memiliki identitas resmi sebagai warga DKI namun sebelum mereka pulang, mereka dibina di panti-panti yang disediakan Dinas Sosial DKI. Tetapi kebijakan tersebut tidak lama kemudian hilang seperti tertiup angin.
(foto:nbcnews)
Wajah Jakarta yang bolak-balik dipermak dan terkadang kurang memperhatikan kebijakan yang ramah lingkungan serta berkelanjutan dari gubernur sebelum-sebelumnya.
Atau karena perilaku warganya yang kurang memperhatikan kondisi fisik Jakarta ikut memperparah keadaan Jakarta. Maka tidak heran jika Jakarta kelihatan cepat tua dari usianya.
Intruisi air laut ke daratan Jakarta membuatnya cepat keropos. Entah karena penurunan permukaan tanahnya. Akibat dari penggunaan air tanah yang sangat eksploitatif atau karena pemanasan suhu global yang menyebabkan naiknya permukaan air laut.
Demikian pula kualitas udara Jakarta yang menempati urutan pertama dalam beberapa hari di awal bulan Agustus. Jika pun tidak menempati urutan teratas, masuk dalam barisan sepuluh besar kota dengan kualitas udara terburuk. Jelas membahayakan bagi paru-paru dan saluran pernafasan warganya.
(foto: Tribunnews)
Gas buang rumah tangga, industri dan kendaraan yang tidak dikelola dengan baik jelas ancaman serius bagi hak hidup secara sehat. Paru-paru kota yang pernah digadang-gadang sebagai kebutuhan mendesak realisasi jauh dari harapan. Kemana hutan kota dan taman kota yang dapat memberikan kesejukan hati serta pikiran warganya.
Jika kebijakan berorientasi pada menyerap anggaran bukan sebaliknya. Anggaran dipergunakan untuk merealisasikan kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan, yang dapat mempertahankan Jakarta supaya tetap kelihatan muda, cantik dan menarik untuk dikunjungi.
Menjadikan Jakarta sebagai tempat tujuan wisata tidak salah. Tetapi apakah tempat-tempat wisata yang sudah ada ramah kepada wisatawan. Bukan hanya terkait layanan dan obyek wisata tetapi juga ramah edukasi akan pentingnya hiburan yang berkelanjutan.
(foto:kontak banten)
Tidak heran jika Jakarta nampak cepat tua. Adakah beberapa tempat dan event hiburan yang tidak terurus atau hilang dalam kalender pariwisata di Jakarta?
Pindahnya ibu kota menjadi hal yang urgent dan mendesak agar Jakarta dapat kembali berbenah. Supaya menjadi kota yang lebih humanis, mengedepankan keseimbangan kepentingan penghuninya.
Salah satunya dengan mengurangi beban yang ditanggung sebagi kota, yang menjadi pusat pemerintahan. Terimakasih, Jakarta, sudah menjadi ibu kota.
Tulisan ini nampak juga di www.kompasiana.com/koin1903
Tidak ada komentar:
Posting Komentar