Kamis, 11 Januari 2018

Don't Worry, Telo, Kopi dan Tenggo

"Don't Worry" Nisa, Basa-basi ala Bozz Madyang, Telo di Mata Nawa, Kopi Gordi dan Tenggonya Weedy
www.kompasiana.com
Memasak itu bukan sekedar  kemampuan mengolah atau mencampurkan aneka bahan masakan dengan takaran yang pas. Ada sentuhan khusus dalam mengolah setiap masakan hingga mampu mengeluarkan aroma sedap saat direbus, dibakar, dipanggang, digoreng, ditumis  atau dikukus.
Memperoleh makanan enak bukan perkara mudah. Kegagalan, kawan dekat juru masak sebelum menemukan sajian makanan yang enak dan memuaskan rasa lapar. Perlu ketekunan, kesabaran dan berani mencoba serta kerja keras.
Galaunya Nisa
Tetapi bagi yang tidak dapat memasak, khususnya perempuan. Menjadi kegalauan tersendiri. Sebagiamana Nisa Lutfianamengungkapkan lewat tulisan  Perempuan yang Memasak.
Mengapa perempuan yang tidak suka meramu berbagai bumbu dan bahan pangan. Dianggap tidak wajar dan menyalahi kodrat? Tulis Nisa di awal Februari 2017.
Perempuan memasak (foto:Ko In)
Perempuan memasak (foto:Ko In)
Sedangkan laki-laki jika tidak memiliki kemampuan masak, tidak menjadi masalah besar. Nisa, membela diri dengan argumen bahwa semua orang membutuhkan makanan lewat proses memasak. Nisa mempertanyakan mengapa harus ada label melekat pada diri perempuan, harus bisa memasak.
Padahal laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang sama. Makan. Mengapa mesti perempuan yang memasak? Tanya Kompasianer muda yang kuliah di sebuah perguruan tinggi.
Nisa menambahkan, label itu membebani perempuan khususnya saat memasuki usia pranikah. Ada tuntutan harus bisa memasak. Tidak jelas siapa yang menuntut tetapi pertanyaan itu kerap diajukan ke perempuan, "Sudah bisa masak belum?".  
Nisa Lutfiana (www.kompasiana.com)
Nisa Lutfiana (www.kompasiana.com)
Hal itu mengganggu pikiran Nisa.  Atau barangkali Nisa sendiri belum bisa memasak? Atau sudah bisa namun masakannya belum enak? Don't worry, Nisa .
Basa - Basi ala Bozz Madyang
Memasak tidak enak bukan hanya dialami perempuan yang belum berpengalaman. Tetapi juga  laki-laki yang berprofesi sebagai juru masak. Bozz Madyang, menyebut diri sebagai food blogger dan food photograper. Juga admin Komunitas Penggila Kuliner (KPK) Kompasiana, bercerita tentang pengalaman cip-icip masakan.
Bozz Madyang memiliki beberapa pengalamannya saat cicip makanan, ternyata ada makanan yang benar-benar gak enak. Penggemar makanan jengkol ini mesti pintar menahan kejujuran lidahnya untuk mengatakan apa adanya.  Dan sedikit basa-basi dengan bahasa halus saat  mereview makanan dalam konten teks.
Bozz Madyang (www.kompasiana.com)
Bozz Madyang (www.kompasiana.com)
Beberapa Kompasianers yang punya pengalaman cip-icipmakanan. Tugas menulis dan mengunggah ke blog terasa tidak lancar manakala makananan yang disantap ternyata tidak enak.
Bozz Madyang punya pengalaman sama dan mengulasnya di  Food Blogger Jepret Makanan. Tapi Makanan Gak enak, Gimana Ya?  Yang diunggah awal Mei 2017.
Hobi jeprat- jepret makanan, mampu menyembunyikan rasa tidak enak makanan yang telah disantap. Dengan menyajikan gambar atau foto yang indah dan menarik.
Tetapi tugas seorang food photographer dan food bloggermenurutnya tidak identik.
Benar, namun kejujuran mesti dikedepankan. Jangan sampai mengesampingkan realitas yang dialami dan dirasakan.
Bozz Madyang memberi saran agar opini atau review jujur. Jika opini tidak jujur, misalnya mengatakan makanan gak enak tetap enak. Pembaca bisa tidak akan percaya. Padahal, unsur kepercayaan penting agar pembaca tetap mau membaca reviewtulisan seterusnya.
Caranya bagaimana? Bozz  Madyang menyarankan untuk melembutkan kritikan atau kekurangan rasa masakan. Lewat bahasa halus, sifatnya memberi saran atau masukan bukan kritikan. 
Mungkin sedikit basa-basi ya, bos....?
Tapi perlu diingat. Tidak jarang tujuan baik menjebak penulis atau blogger terjerat oleh makan gratis, pemberian godybag dan fasilitas lain. Sehingga menjadi penulis opurtunis. Tidak lagi memiliki kepekaan sosial apalagi sikap kritis.
Ilustrasi (www.bozzmadyang.com)
Ilustrasi (www.bozzmadyang.com)
Sebagai penggemar fotografi, Bozz Madyang memiliki kemampuan merubah apa yang kelihatan biasa-biasa saja, menjadi sesuatu lebih menarik dari aslinya.
Foto dan tulisan memang berbeda. Tanpa banyak kata, foto berbicara banyak. Tetapi tulisan harus banyak kata. Bukan berarti menghaburkan kata untuk menyampaikan hal yang tidak bermakna.
Pertanyaan untuk Bozz Madyang. Bagaimana cara menahan air liur supaya tidak menetes saat mengambil gambar makanan atau masakan dalam jarak dekat? Atau bagaimana caranya supaya perut tidak mengeluarkan bunyi "krrruuuk....krrruuuk....krrruuuk ," saat mencium sedapnya aroma masakan?
Enak atau tidak enak makanan bukan hanya soal rasa atau selera. Tidak hanya soal ketrampilan memasak dan cara menyajikan. Tetapi juga cara pandang , terhadap bahan makanan. Sejauh mana kita menghargainya.
Mata Nawa
Nawa menyajikan Kisah Sepiring Telo di Jerman pada bulan Mei 2017. Nawa seolah mewakili mata kita. Mustinya, tulisan Nawa mampu membuka mata orang yang membaca tulisannya. Bahwa telo atau ubi jalar yang kerap dianggap sebagai bahan makanan remeh dan tidak memiliki nilai. Di Jerman, menjadi hidangan utama dengan ayam panggang sebagai lauknya.
Tulisan Nawa seolah menampar muka kita, yang kurang menghargai dan peduli dengan keberadaan telosebagai sumber makanan utama, pengganti nasi. Maka tidak heran jika Indonesia kadang-kadang masih impor beras tiap tahunnya.
Nawa (www.kompasiana.com)
Nawa (www.kompasiana.com)
Nawa, sedang mendalami ilmu psikiatri forensik di Zwiefalten, Baden Wurttemberg, Jerman. Bercerita jika telo  mudah ditemukan di supermarket. Derajatnya tidak kalah dengan pasta, kentang dan roti yang menjadi sumber makanan utama orang Jerman.
Satu kilogram telo, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Di Jerman harganya mencapai 6 Euro. Kurs 1 Euro kira-kira Rp 15.000.
Di Yogya harga telo antara Rp 6000 sampai Rp 8000 per kilo, isi empat atau lima buah. Jika dipotong,  satu telo menjadi 4 atau 5 bagian. Satu kilo menjadi 16 sampai 25 bagian. Dijual di  angkringan Rp 1000 per  bagian atau perpotongnya. Di mall, telo goreng berganti nama menjadi sweet potatos dijual dengan harga Rp 6000  sampai Rp 8000 perpotongnya.
Telo goreng (Foto: Ko In)
Telo goreng (Foto: Ko In)
Nawa kependekan dari Nafisatul  Wakhidah, sayang kurang banyak memberi informasi bagaimana keberadaan telo di Jerman, seperti di cafe atau restaurant. Nawa asyik menulis tentang kandungan nilai gizi telo.
Sehingga tulisannya terasa  seret di tenggorokkan. Seperti saat makan telo goreng atau rebus tanpa ditemani minuman kopi atau teh. Telo itu terasa berhenti di tenggorokkan sehingga perlu minum.
Teh atau kopi teman yang tidak dapat ditinggalan saat menyantap makanan atau sekedar menikmati kudapan seperti telo. Apalagi jika kopinya adalah kopi pilihan, cara meracik atau menyeduh dengan menggunakan alat khusus yang diyakini menambah nikmat aroma dan rasa kopi.
Kopi Gordi
Kopi enak, menurut Gordi  adalah kopi Italia. Ini tidak lepas dari sejarah cara meraciknya lewat alat yang disebut La Moka. Apa itu La Moka ? Jenguk tulisan Gordi  yang diunggah pertengahan Februari 2017 dengan judul Makin Tua, Makin Kuat.  
Gordi (www.kompasiana.com)
Gordi (www.kompasiana.com)
Gordi nampaknya cukup lama tinggal di Italia, mengerti  bagaimana La Moka dapat membuat kopi Italia terkenal karena nikmat rasanya. Gordi  mengibaratkan meracik kopi seperti membuat lukisan. Bermodal kertas dan pensil, dihasilkan karya indah. Bahkan beberapa lukisan, lebih terkenal dibanding dengan pelukisnya.  
Sebagaimana tanaman kopi kurang populer di Italia. Namun kopi Italia, menurut Gordi  selalu terdepan dalam hal rasa. Ini tidak lepas peran alat peracik kopi LaMoka, yang ditemukan Alfonso Biateletti  tahun 1933.
ukuran moka (www.greatgiftsforcaffelovers.com) dan renato bialetti (www.english.offmedia.hu)
ukuran moka (www.greatgiftsforcaffelovers.com) dan renato bialetti (www.english.offmedia.hu)
Di tengah kesibukan menjalani aktivitasnya. Gordi masih memiliki waktu mengamati kebiasaan orang Itali dalam menyajikan kopi yang enak lewat mesin peracik kopi.
Walau mesin modern terus bermunculan namun La Moka yang dokomandani, Renato Biateletti, sebagai penerus Alfonso. Mesin peracik kopinya mampu bersaing. Tidak sedikit penggemar kopi Italia, masih menggunakan mesin itu lebih dari 30 tahun. Bahkan kopi yang diminum Gordi dihasilkan dari Moka yang umurnya 40 tahunan.
La Moka menjadikan kopi Italia keras karena kemampuan memeras sehingga menghasilkan kadar zat kopi yang tinggi.
Bagian-bagian Moka (www.iconeye.com)
Bagian-bagian Moka (www.iconeye.com)
Gordi Sang Peziarah, menggambarkan satu liter air dan 20 sendok kopi diracik dengan Moka menghasilkan satu setengah gelas kopi ukuran Indonesia. Bagi penggemar kopi pasti tahu bagaimana keras rasanya kopi tersebut.
Semoga sepulangnya dari Italia, Gordi tidak bothak karena rambutnya rontok akibat banyak minum kopi Italia.
Moka buatan Biateletti  sudah diproduksi hingga 105 juta dan terkenal awet. Pesan tersirat dari tulisan Gordi, kesuksesan dan keberhasilan hanya dapat dicapai dengan kerja  keras dan ketekunan. 
Tenggo Weedy
Kerja keras perlu namun jika berlebihan tidak baik. Sebagaimana digambarkan ibu dua anak yang tinggal di Jepang, Weedy Koshinotentang perilaku orang Jepang yang gila kerja. Tulisan yang diunggah akhir Februari 2017, dengan judul Cara Jepang Memaksa Pekerjanya Pulang Tenggo nampaknya merupakan bagian dari kegelisahan Weedy. 
Weedy (www.kompasiana.com)
Weedy (www.kompasiana.com)
Tenggo, istilah menurut ibu cantik ini untuk menggambarkan keharusan pekerja pulang tepat waktu. Bunyi bel, "Teng...." dan "Go". Adalah waktu untuk pulang atau hengkang dari kantor.
Dengan cermat, ibu yang suka membagi pengalaman hidup , menceritakan bagaimana kehidupan bapak-bapak dan para suami di Jepang rentan akan stress.  Setiap hari, berangkat pagi dan pulang sekitar pukul  10 atau 11 malam.
Rutinitas ini menurutnya tidak sehat namun anehnya mereka jarang mengeluh. Weedy gemas melihat kondisi itu karena tidak sedikit diantara mereka menderita Utsubyou. Situasi dimana pekerja mengalami beban kerja berlebih tetapi merasa waktu kurang sementara tuntutan dari atasan sedemikian keras .
Akibatnya tidak sedikit pekerja mengalami gangguan jiwa. Pemerintah Jepang menyadari buruknya situasi itu sehingga memberlakukan kebijakan No Over Time Day dan Premium Friday. Agar pekerja memiliki waktu untuk bergembira. 
Tetapi kebijakan itu memunculkan pro kontra karena berefek pada penurunan produksi.
www.NikThoha.com
www.NikThoha.com
Sebagai seorang istri, yang suaminya ikut dalam pusaran budaya negara yang penduduknya gila kerja. Weedy menutup tulisannya dengan apik lewat sebuah saran agar pemerintah Jepang memperhatikan kebutuhan kasat mata pekerja.
Supaya dapat menghabiskan waktu bersama keluarga, melakukan hobi di rumah. Makan minum di restorant  atau nonton film di bioskop. Hasilnya, muka pekerja  yang kebanyakan masih muda nampak sumringah.
Manusia adalah homo faber, mahluk yang suka bekerja. Namun apa artinya bekerja jika tidak mampu membuat manusia itu bahagia dan gembira. Bukankah demikan, Weedy? 

Tulisan ini berlayar juga di www.kompasiana.com/koin1903

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Itsmy blog

 It's my mine