Temu Inklusi Nasional ke tiga (Foto: Ko In)
Media komunitas dapat menjadi alat meningkatkan posisi tawar bagi para penyandang disabilitas atau difabel jika dikelola secara baik. Sehingga mampu menjadi alat untuk menyuarakan hak-haknya yang selama dinilai masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Temu Inklusi 2018 yang berlangsung di Plembutan, Playen, Gunungkidul Jogja, 24 Oktober 2018 dalam diskusi kelompok yang membahas terkait Media dan Difabilitas terungkap jika media komunitas jangan hanya menjadi alat atau tempat mengeluh, terkait persoalan pribadi. Sebabg hal itu akan menurunkan penilaian atau citra kualitas diri difabel.
Kertaning Tyas, menyoroti secara khusus cara pengelolaan media komunitas agar media tersebut dapat meningkatkan bargaining potition teman-teman difabel. Mas Ken, demikian panggilan akrabnya saat menjadi nara sumber dalam diskusi kelompok di dusun Papringan, Plembutan, Playen yang dihadiri oleh berbagai perwakilan dari beberapa daerah.
Focus Group Disccusion dibagi menjadi beberapa kelompok di tempat yang berbeda-beda letak dusunnya. Sehingga peserta Temu Inklusi 2018 dapat mengenal kondisi lingkungan dan alam di Playen yang saat itu tanahnya kering karena musim kemarau.
Dampak kemarau di Gunungkidul (foto:Ko In)
Tanah kering dan merekah (Foto:Ko In)
Pengalaman Mas Ken menjadi pemantik semangat kelompok untuk menyatukan pikiran, mengurai permasalahan yang dialami difabel dan upaya mencari solusi atau jalan keluar lewat berbagai cara diantaranya pemberdayaan difabel, masyarakat, media, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait serta memiliki kepedulian.
Diskusi yang berlangsung di balai desa Papringan terasa cukup panas walau diskusi dilakukan di aula balai desa setempat. Dapat dimaklumi karena saat itu cuaca memang terik dan pohon-pohon terlihat daunnya berguguran karena kering kekurangan air.
Balai Desa Papringan (Foto: Ko In)
Dalam kesempatan itu, Tomi Apriano dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jogjakarta ikut berbagi pengalaman saat menjadi wartawan media mainstream. Bagaimana lemahnya kepedulian serta pengetahuan sebagian wartawan dalam memberikan informasi yang akurat terhadap penyandang disabilitas. Salah satu penyebabnya karena kurangnya informasi terkait masalah-masalah difabel.
Tomi, Mas Ken dan moderator (Foto: Ko In)
Untuk itu Mas Ken berharap agar media komunitas baik berupa radio komunitas atau media sosial yang dikelola bersama rekan-rekan difabel atau kolaborasi difabel dan non difabel dapat menjawab kebutuhan utama para difabel, yang selama ini masih dirasa jauh dari apa yang diharapkan.
Dalam diskusi yang melibatkan peserta Temu Inklusi dengan berbagai latar beakang profesi tercatat beberapa hal yang menjadi perhatia utama. Diantaranya perlu adanya visi yang jelas jika akan mengelola media komunitas, jangan hanya berlangsung musiman dan tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu kaum difabel harus lebih percaya diri dengan kemampuanya daam media komunitas sebab persoalan yang sama tidak sedikit dialami juga oleh kelompok pengelola media komunitas dari mereka yang non disabilitas.
Serunya diskusi ttg Media dan Difabilitas (Foto: Ko In)
Teman-teman disabilitas diharapkan tidak mudah patah semangat sebab tidak sedikit organisasi pemerintah atau non pemerintah yang terbuka untuk memberikan ruang atau waktu supaya media komunitas difabel berkembang. Namun persoalannya terkadang pihak-pihak terkait kebingungan untuk menghubungi atau memberikan tawaran sebab belum ada atau tidak terjalin komunikasi yang baik. Akibst kendala personal seperti kepercayaan diri.
Disamping minimnya ilmu dan pengetahuan jurnalistik, tulis menulis atau siaran lewat radio, media sosial dari teman-teman disabilitas atau difabel. Sehingga diharapkan ada langkah pemberdayaan bagi difabel terkait kaedah jurnalistik.
Persoalan lainnya, sebagaimana di sentil oleh Tomi dari AJI Jogja memunculkan pemikiran bagaimana memberikan wacana atau atau diskursus kepada para pekerja media terkait dengan disabilitas. Sehingga memunculkan penilaian bahwa media mainstream tidak aksesibel untuk para difabel.
Antusiasme peserta diskusi di Temu Inklusi Nasional 3 (Foto: Ko In)
Diskusi tersebut membuka wacana kepada peserta difabel bahwa untuk mengelola media komunitas sebenarnya tidak mahal. Diantaranya dengan memanfaatkan blog-blog gratis di internet seperti facebook,twitter dan instagram. Mengoptimalkan media sosial tersebut diharapkan akan meningkatkan posisi tawar difabel sebagaimana yang sduah disinggung di awal diskusi.
Salah seorang peserta juga mencermati komitmen dari pihak pemerintah atau stakeholder yang masih perlu ditingkatkan. Agar lebih mengerti dan mengetahui persoalan yang dialami dan dihadapi difabel dengan lebih banyak mendengar dan melihat di lapangan supaya kebijakan yang dikeluarkan benar-benar tepat sasaran dan tepat guna.
Untuk menjawab persoalan tersebut perlu adanya kolaborasi serta inovasi yang mempertimbangkan sumberdaya alam sekitar. Salah satu peserta Temu Inklusi dari bali memberikan usualan adanya paket wisata sosial kepada wisatawan untuk mengunjungi tempat berkumpulnya para difabel engn berbagai aktivitas kesehariannya . Seperti salah satu dusun di desa Plembutan yang memiliki kepala dusun difabel.
Peta Temu Inklusi 3 (Foto; Ko In)
Jawaban lain dari persoalan yang dihadapi oleh difabel dengan memberikan pelatihan teknologi informasi atau IT bagi difabel. Bagaimana mengelola media sosial secara efektif dan efisien serta membuat blog agar kontennya menarik dan banyak dikunjungi oleh netizen. Disamping perlunya peningkatan edukasi kepada masyarakat, pemerintah dan pelaku media massa terkait pengetahuan dan masalah yang berhubungan dengan disabilitas.
Jika hal itu daat berlangsung dan terlaksana dengan baik secara berkelanjutan tidak temporal. Peserta diskusi yang diantaranya datang dari Mataram, Bandung dan Bali berharap adanya event yang melibatkan difabel dan mendapatkan liputan yang luas dari media massa. Serta perlunya lokakarya untuk menguatkan komitmen stakeholder dalam bentuk aksi di lapangan.
Diskusi singkat yang berlangsung sekitar tiga puluh menit tersebut yang diikuti peserta difabel dan non difabel, berlangsung menarik karena semua memberikan kontribusi pikiran serta gagasan walau setiap orang memiliki keterbatasan fisik dan psikologisnya masing-masing.
Sebagian rekomendasi hasil diskusi (Foto: Ko In)
Kegiatan Temu Inklusi Naional 2018 yang dihadiri pula oleh beberapa perwakilan diantaranya ada yang datang dari Papua. Kegiatan ini berlangsung dari pagi sampai sore hari. Peserta juga diajak untuk mengikuti seminar nasional membumikan pembangunan keberlanjutan sampai tingkat desa termasuk sampai kepada para difabel.
Jadwal seminar diskusi (Foto; Ko In)
Penerjemah bahasa isyarat untuk peserta seminar (Foto: Ko In)
Temu Inklusi yang ketiga berlangsung dari tanggal 22 sampai 25 Oktober di desa Plembutan, Kecamatan Playen Gunungkidul, Jogjakarta. Sekitar 400 orang difabel dari berbagai daerah di Indonesia meramaikan acara yang berlangsung dua tahunan. Para peserta selama mengikuti kegiatan tinggal di rumah-rumah warga yang berada di sekitar kantor kecamatan Playen, Gunungkidul.
Sebagian peserta (Foto: Ko In)
Ketemu tulisan ini juga di www.kompasiana.com/koin1903
Tidak ada komentar:
Posting Komentar