Jujur, saya rindu tulisan seperti tulisan Ni Nyoman Ayu Suciartini, yang
diunggahnya di www.idntimes.com dengan
judul,” Alas Kaki Wanita dan Tentang Harga Dirinya”. Tulisan ini mestinya menyadarkan siapa saja yang merasa dirinya bangga
menjadi bagian dari dunia kekinian.
Dunia
yang menggiring orang menjadi mahluk
yang konsumtif, terbuai tampilan atau
pencitraan lewat medsos. Menjadikan dirinya merasa paling mengerti tentang
dunia. Berlagak menjadi orang paling benar dan tahu, walau pengetahuannya masih
sejengkal. Tetapi perilakunya jauh dari nalar yang sehat dan congkaknya minta
ampun.
Alas kaki teman Ayu
Apa yang
ditulis Ni Nyoman Ayu adalah realitas perilaku orang-orang yang bangga
menyebutnya generasi jaman now. Generasi
yang mudah dibujuk oleh aneka macam bentuk pencitraan. Lewat berbagai atribusi yang menjadikan segala sesuatu
nampak manis. Ayu
mungkin merasa jengah dengan perilaku temannya, sehingga apa yang ditulisnya di
www.idntimes.com adalah harapan serta tuntutan agar orang mampu berpikir secara sehat.
Akal
atau nalar mesti dijaga kewarasannya. Selalu diasah supaya tidak tumpul dengan
cara berpikir yang analistis. Mampu bersikap kritis, melihat segala sesuatunya
secara menyeluruh dan sampai pada esensi atau akarnya. Melihat persoalan secara
konstektual dan tidak malas berpikir hanya karena mudah menerima sejuta tawaran
informasi di layar gadget.
Mulanya Ayu
heran dengan ulah temannya yang terlalu terlalu
repot dengan sandalnya. Setelah tahu harga sandal itu mencapai Rp 500 ribu. Ayu
bingung, apakah dirinya yang tidak tahu dan bodoh atau temannya yang tidak
waras.
Hingga
muncul pertanyaan yang sarat makna. “Apakah
sandal itu sudah memiliki kepastian akan membawa kakimu melangkah menuju
hal-hal baik? “ Lalu dijawab oleh temannya dengan singkat:
“Ini kekinian”
Ayu
membalas, “Otak juga harus kekinian dong.”
Jawaban
lugas Ayu mestinya menjadi renungan bagi siapa saja yang terlibat sebagai warga
dunia maya atau Netizen.
www.lazada.co.id
Siapa
saja yang merasa dirinya user dan
produsen konten di dunia maya mesti memikirkan lebih dalam tentang makna kekinian. Sebab tidak
sedikit netizen, mengalami apa yang disebut dengan dekadensi moral. Mudah mengunggah gambar , video serta memposting sesuatu yang jauh dari pertimbangan moral serta kepantasan manusia yang memiliki citra
sebagai mahlukyang beradab.
IDNTimes dan teman-temannya
Bagi sebagian orang, generasi now tidak ubahnya seperti generasi tunduk, generasi yang sibuk dan asyik dengan gadgetnya.
Realitas seolah hanya ada di layar smartphonenya, menjadikannya lupa dan tidak
peduli dengan lingkungan. Tidak lagi memiliki sikap santun, jauh dari keinginan
untuk belajar menjadi orang yang arif di dunia nyata.
Tulisan
Ayu menjadi pelepas dahaga kerinduan menikmati tulisan yang mampu
mengajak untuk merenung , melihat diri sendiri, sudah berbuat baik apa dan
bermanfaat untuk hidup yang nyata ini.
Generasi Nunuduk? (Foto: Ko In)
IDN
Times, web yang menyajikan berbagai macam informasi. Semestinya menjadi panduan
sebagaimana mercusuar yang memandu kapal
agar tidak menabrak karang. Sekaligus sebagai panduan agar kapal berlabuh ke
pulau setelah lelah mengarungi luas dan ganasnya lautan. Untuk istirahat,
merenungkan berbagai pengalaman yang didapat usai mengarungi samudra.
Jika Ayu
menulis,” Alas Kaki Wanita dan Tentang Harga Dirinya”. Sesungguhnya bukan kritik
terhadap wanita saja. Tetapi kepada semua warga net. Sudah sepatutnya IDN Times introspeksi diri dengan konten atau tampilan
yang disajikan ke warga dunia maya.
Foto; www.idntimes.com
Pertama
, membaca judul-judul rubrikasinya . Muncul pertanyaan dalam hati. Apa
salahnya dengan bahasa Indonesia
sehingga nama-nama rubrik di IDN Times semua memakai bahasa asing. Seolah bahasa
Indonesia di sub ordinatkan menjadi bahasa tidak penting. Menjadi bahasa kedua
setelah “klik” “How to”, ”About”, “ Attitude”, “Fun Fact”. Baru muncul
kata-kata dalam bahasa Indonesia.
Mengapa
menganak tirikan bahasa sendiri. Jika kurang pas atau kurang sreg dengan pilihan bahasa Indonesia
untuk menggantikan kata-kata asing. Mengapa tidak mencari kata yang sepadan
yang artinya hampir sama dengan kata bahasa Indonesia lainnya.
Bukannya
anti perubahan, anti kemajuan, anti modernitas. Tetapi siapa lagi yang harus
menjaga karakter bangsa lewat bahasa jika tidak generasi sekarang, generasi kekinian.
Jika generasi now sudah tidak peduli.
Kedua, penggunaan model listicle
atau list article yang mulai membudaya di www.idntimes.com .
Terasa sangat mengganggu terkait konteks isi tulisan secara keseluruhan.
Terlalu memanjakan pembaca sehingga isi tulisan tersebut tidak runut dalam
sebuah kesatuan artikel sehingga terkesan terpisah-pisah. Seperti penggalan-penggalan cerita yang tidak memiliki
hubungan ide. Terkotak-kotak, ada sekat satu dengan lainnya .
Foto: www:idntimes.com
Celakanya
, model itu diterapkan dalam rubrik atau kolom opini. Padahal setiap kata atau
kalimat dalam kolom opini semestinya saling terkait, menguatkan dan mendukung
sehingga tercermin gagasan atau pemikiran yang utuh.
Sayangnya
hal itu mulai dibudayakan oleh beberapa pengelola web. Padahal jika menelusuri
manfaat list atau poin-poin, itu
merupakan keterangan singkat yang dibaca sambil lalu. Bukan sebuah uraian
panjang yang dibuat list, sebagaimana nampak dalam beberapa tulisan yang di
unggah di web IDN Times.
Sekalilagi
bukannya tidak setuju dan menolak hal baru dengan penggunaan list. Tetapi alangkah baiknya jika penggunaanya sesuai porsi atau konteksnya. Tidak campur aduk. Listicle memang memudahkan tetapi apa
jadinya jika membuat orang malas membaca, malas menggunakan akalnya. Hanya cari
mudahnya. Bisa jadi seperti yang dialami teman Ayu .
Fungsi
sandal sebagai pelindung kaki menjadi berubah. Menjadi sandal yang dipakai di
kaki tetapi tidak boleh terkena kotoran karena harganya setengah juta rupiah.
Gado-gado (Foto:Ko In)
Menulis
dan membaca itu adalah kegiatan nalar. Maka tidak heran jika tidak sedikit
orang yang cara berpikirnya tidak waras karena pola berpikirnya sudah salah kaprah. Campur baur
tidak karuan dan tidak semestinya. Jika
menulis diibaratkan seperti membuat gado-gado.
Ketiga,
tidak sedikit tulisan sumbangan dari mereka yang menamakan dirinya penulis,
yang mengisi web.idntimes.com. Isinya
merupakan daur ulang. Comot sana-sini. Mengambil informasi lama, dipoles
sedikit kemudian dipasangkan dengan informasi kekinian. Jadilah sebuah tulisan
.
Persis
seperti kain perca. Kain yang terbuat dari potongan-potongan kain tidak berguna
, didaur ulang menjadi lembaran kain seolah nampak baru. Kemudian memberi
kepuasan semu kepada penulis atau pembuatnya. Apalagi saat tayang menjadi trend atau mendapat viewer banyak.
Menulis
itu kegiatan intelektual, kegiatan nalar, mengasah kemampuan akal untuk
berpikir kritis dan analistis. Bukan pengrajin kain perca atau patchwork. Kemudian bangga tulisannya menjadi
viral.
www.peluangusaharumahan.info
Viral sebuah nilai baru terkait
dengan popularitas. Kepopuleran menjadi
sebuah tujuan namun lupa ada nilai yang mestinya diemban supaya popularitas itu
bermakna dan berarti bagi banyak orang. Bukan hanya untuk diri sendiri.
Mengapa
tidak belajar dari kasus-kasus viral lain. Semisal, “Om, Tolelot Om...” atau
kisah memburu pokemon. Tiba-tiba populer dan viral. Tapi setelah itu hilang
seperti tertiup angin. Apakah menjadi sampah digital atau sampah teknologi?
Namun
apa yang telah diberikan Ni Nyoman Ayu
Suciartini lewat tulisan “Alas Kaki Wanita dan Tentang Harga Dirinya”. Mestinya membuka cakrawala berpikir bagi siapa saja yang
membacanya. Menjadi pemantik ide, memunculkan tulisan kreatif lainnya yang
dapat menggugah hati nurani. Agar tulisan yang dihasilkan menjadi berarti bagi
yang membaca.
www.androidcentral.com
Bukan
tulisan yang sekali baca habis tidak membekas di hati. Sekedar informasi. Suka
mendaur ulang disajikan dalam kemasan baru . Dibaca tetapi habis itu kembali
menjadi sampah digital.
Keempat,
saatnya IDN Times terlibat dan berperan aktif membangun generasi yang
berkepribadian. Menjadikan manusia modern yang menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan. Santun, rendah hati, menghargai orang lain tanpa harus merendahkan
diri.
Menjaga
generasi yang kreatif dan inovatif, melakukan perubahan berdasarkan kebaikan
dan keberadaban sebagai manusia. IDN Times harus terlibat dalam mencerdaskan
generasi kekinian tanpa harus menjadikan mereka congkak atau sombong.
Dunia maya
adalah dunia yang minim komitmen. Jika tidak suka terhadap konten tertentu tinggal
menggerakkan jari-jari mencari konten lain. Uninstal
program, pilih unfriend atau tinggal di block. Mudah, gampang dan tidak rumit. Tidak seperti pertemanan di
dunia nyata yang tidak jarang makan hati serta perasaan.
www.playgoogle.com
Mencari
mudah mungkin itu bagian dari naluri manusia. Tetapi tidak juga berarti
enak-enakan terus sehingga menjadi budaya. Akibatnya menjadi minim tanggung
jawab dengan apa yang telah di unggah atau disajikan.
Kata
maaf menjadi kata yang sangat mahal di dunai maya. Isinya hanya saling
berbantah. Mempertahankan kebenarannya dengan argumen yang dangkal bahkan tidak
berdasar pada data dan fakta.
Kelima,
tiba waktunya www.idntimes.com memberikan teladan atau contoh bagaimana cara menunjukkan
penyesalan dengan kata maaf atau tindakan, saat melakukan kesalahan.
Ayu
Suciartini melukiskan dengan manis hal itu dalam tulisannya. “Lalu saya memeluknya
untuk menguatkan dia yang tampak menyesal menunjukkan kebanggaannya di hadapan
saya. Pelukan ini juga untuk membuatnya merasa lebih baik saat otaknya mulai
berpikir sedikit waras tentang semua pertanyaan saya.”
Gunanya teman
Barangkali
pelukan itu juga sebagai tanda maaf Ayu yang merasa telah menyinggung harga
diri dan perasaan temannya. Tapi saya yakin itu karena Ayu memiliki niat baik
kepada temannya.
Teman yang baik adalah teman yang menyampaikan
apa adanya. Tanpa harus menjual harga dirinya demi sebuah persahabatan lewat
kepura-puraan. Nampak manis di depan tetapi siap menusuk dari belakang.
www.yosbeda.com
Walau
tidak jarang kritikan dan masukan itu membuat merah telinga dan sakit di hati.
Tetapi itulah gunanya teman. Bukan teman yang hanya bisa memuji tetapi
membiarkanmu jatuh dalam lubang penderitaan yang dalam.
Non aqua, non igni, ut
aiunt, locis pluribus utimur quam amicitia. Kata orang, kita bergaul
bukan dengan air atau api, tetapi dengan persahabatan.
Oleh
karena itu mohon maaf kepada www.idntimes.com
dan para komunitas penulisnya atau community writter. Bukan bermaksud membuat sakit hati banyak orang dengan
menulis review ini. Tetapi hanya karena ingin IDN Times Indonesia dan para
penulisnya menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam berkarya. Itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar