Patjar Merah (foto:Ko In) |
Nafas intelektual pelajar mahasiswa di Yogya nampaknya belum putus. Walau tidak sedikit pihak yang prihatin dengan kehidupan intelektual pelajar karena cenderung pragmatis. Jauh dari ranah idealis. Ditambah perilaku konsumtif yang meredupkan semangat kepedulian akan masalah-masalah sosial disekitarnya.
Cafe-cafe tumbuh bak jamur di sudut-sudut kota Yogya, sementara toko buku satu persatu harus menutup etalase dan pintunya rapat untuk selamanya karena sepi pengunjung. Toko buku, yang memiliki sejarah kedekatannya dengan mahasiwa di Yogya, terletak di sisi utara Tugu Yogya, harus mengakhiri cerita manisnya bersama mahasiswa. Tidak hanya tutup tetapi sudah dirobohkan.
Tugu dan bekas toko buku Gunung Agung(foto:Ko In)
Keberadaan Shopping, sebagai pusat buku murah di Yogya semakin ditinggal mahasiswa. Pelan tapi pasti kios-kiosnya berubah menjadi warung makan, pakaian atau yang lainnya.
Apakah itu pertanda bahwa minat membaca buku dari pelajar dan mahasiswa di Yogya, semakin pudar ?
Rindu pasar buku (foto: Ko In)
Pasar buku yang ditandai dengan nama Patjar Merah, berlangsung dari tanggal 2 sampai 10 Meret 2019 di Jl. Gedong Kuning 118 Yogya. Irwan Bajang dan Windy sebagai penggagas acara ini ingin membuktikan apakah benar minat baca di Indonesia turun setelah terjadi pergeseran budaya dari membaca buku teks ke digital.
Pasar buku (foto: Ko In)
Apakah ini menunjukkan minat membaca buku pelajar mahasiswa masih tinggi? Sepertinya tidak perlu buru-buru membuat statement masih tingginya minat membaca buku dikalangan pelajar dan mahasiswa di Yogya.
Siapa tahu mereka datang hanya melihat-lihat. Jika membeli mungkin sekedar melampiaskan nafsu konsumtifnya. Belanja dan belanja. Tidak peduli belanja apa saja. Belanja buku mungkin nampak lebih keren dibandingkan belanja barang konsumsi lainnya. Dan nampak intelek atau terpelajar, dapat menambah pencitraan diri di mata teman atau orang lain.
Buku (foto;Ko In)
Patjar Merah mengingatkan pada tokoh-tokoh pergerakan. Dan nama itu menjadi tidak asing jika mengetahui latar belakang pengagas kegiatan pasar buku ini di jaman pemerintahan yang sangat represif.
Tokoh dan buku (foto:Ko In)
Literasi
Di sela penjualan buku ada acara diskusi yang menghadirkan beberapa nara sumber, yang tidak jauh dari dunia tulis menulis. Ada Joko Pinurbo, Ivan Lanin, Jenny Jusuf, Ismael Basbeth, Max Lane, Trinity dan yang lainnya .
Berbicara tentang diskusi mengingatkan tentang kebiasaan para mahasiswa tahun 80an yang gemar diskusi di warung angkringan selama berjam-jam. Cukup berbekal uang Rp 5000 boleh duduk dan ngobrol berjam-jam antar sesama pengunjung. Entah sudah kenal atau belum. Masih sering terdengar obrolan atau diskusi tentang banyak hal.
Menu angkringan(foto:Ko In)
Sementara di cafe-cafe, tidak jarang terjadi diskusi seperti di warung angkringan. Namun tidak sedikit pula diskusi yang lebih banyak menonjolkan hahahahihihinya daripada masalah-masalah aktual yang sedang terjadi .
Mungkinkah cafe-cafe di Yogya mampu menelorkan penulis dengan karya fenomenal, yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan ? Seperti Jean Paul Sartre dan Simone De Beauvoir saat ngopi dan ngobrol di cafe Les Deux Magots. Cafe yang terletak di jantung kota Paris Prancis.
(foto:pixdaus.com)
Seseorang atau individu mampu dan trampil berbicara, menulis, membaca serta memecahkan masalah. Mengeluarkan gagasan atau pikiran karena mampu membaca banyak informasi lewat aneka media, seperti buku atau membaca kehidupan.
Berdiskusi, Kalis dan Jenny (foto:Ko In)
Menurut National Institute of Literacy, literasi artinya kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memcahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperluan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Sedangkan Education Development Center menggaris tebali bahwa literasi itu kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Perempuan (foto:Ko In)
Jeny Jusuf dan Kalis Mardiasih di hari kedua kegiatan literasi dan pasar buku Patjar Merah menyampaaikan beberapa pengalamannya terkait dengan media sosial. Jeny Jusuf penulis skenario film Filosofi Kopi , Wonderful Life, Mantan Manten. Mengakui jika dirinya iseng memanfaatkan instagram untuk menaikkan engagement dan follower.
Atas saran seorang teman Jeny fokus dalam salah satu topik bahasan khususnya tentang perempuan. Di sebuah kesempatan, ia lontarkan pertanyaan sederhana yang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan lewat instagram. Ternyata memperoleh respon yang cukup mengejutkan, 80 persen yang menjawab pertanyaanya adalah perempuan.
Dari situ, Jeny menyadari bahwa ada banyak persoalan di luar dunianya. Sehingga membuat dirinya tergerak untuk membuat sebuah komunitas yang membuat para perempuan nyaman untuk menyampaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Tanpa takut dikatakan lebay atau dinasehati.
Perempuan dan gaya (foto: Ko In)
Sementara Kalis Madiarsih, yang namanya mencuat sekitar dua tahun lalu, terkait isu politik dan sebagai anggota komunitas Gusdurian yang aktif di medsos. Menjumpai tidak sedikit keanehan atas perilaku pengguna media sosial.
Kalis bertanya pada dirinya sendiri kenapa orang mudah marah di medsos tanpa alasan tidak masuk akal. Suatu hari orang posting foto bersama istrinya dengan caption yang menyejukkan. Tapi di hari berikutnya share foto atau video politik dengan caption menyeramkan.
Dari penelusurannya, yang bersangkutan ternyata memiliki gelar doktor dari perguruan tinggi di luar negeri. Tetapi mengapa perilakunya di medsos seperti orang yang tidak bahagia dan kesepian. Atau apakah struktur otaknya berubah? Yang mendapat balasan tawa dari peserta diskusi di Patjar Merah.
Baca (foto: Ko In)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar