Selasa, 28 Agustus 2018

Kikis Sekat Imajiner di Antara Satuan Pendidikan, Keluarga dan Masyarakat

Kikis Sekat Imajiner di Antara Satuan Pendidikan, Keluarga dan Masyarakat
(www.dakwatuna.com)
Pendidikan itu artinya mengajak dan mengajar seseorang untuk menjadi lebih bermartabat dan beradab.  Menjadikan seseorang jujur, berbudi dan rendah hati. Terbuka terhadap kritikan dan koreksi serta bersedia mendidik diri, memberi teladan bagi masyarakat dan orang disekitarnya.
Pendidikan tidak sebatas mewajibkan seseorang menempuh jenjang pendidikan tingkat dasar atau tingkat lanjut dan tingkat tinggi. Memulai pendidikan itu melakukan pengelolaan pendidikan di tiap satuan pendidikan. Artinya, memulai pendidikan dari kelompok layanan pendidikan sesuai  jalur yang berbentuk formal, nonformal atau informal.
Sebagaimana Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan formal dan non formal pelaksanaannya secara terstruktur dan berjenjang. Sedangkan pendidikan informal pelaksanaannya dimulai dari keluarga serta lingkungan. 
Paud atau taman kanak-kanak (Foto:Ko In)
Paud atau taman kanak-kanak (Foto:Ko In)
Dengan demikian pengelola pendidikan, baik kepala sekolah dan kepala keluarga mesti memiliki visi pendidikan yang komperehensif dalam proses edukasi di sekolah atau keluarga.
Tiga raksasa
Seorang pemimpin dalam konteks pendidikan menurut Robert J. Starratt , seperti sosok tiga raksasa yang periang. Seorang raksasa yang mengajarkan gelak tawa, raksasa lain mengajarkan pengampunan dan raksasa yang lain lagi mengajarkan imajinasi.
Robert J. Starratt, profesor dari Fordham  University, New York yang berminat dalam bidang kepimpinan, kurikulum dan pengembangan sumberdaya manusia. Memiliki pandangan  terkait pelaksanaan pendidikan yang harus berviri visioner. Tanggap perubahan dan tanggap akan permasalahan lingkungan.
Pemimpin, kepala sekolah, guru, kepala rumah tangga atau orang tua diharapkan memiliki kemampuan membangun kedekatan, suasana riang dan gembira agar setiap didikan mudah dicerna dan diterima oleh peserta didik atau anggota keluarga.
(humanityfirst.id)
(humanityfirst.id)
Setiap anggota keluarga dapat membangun kedekatan dan keakraban dalam mengajar. Mendidik banyak hal tanpa harus menjaga imej atau jaim. Jaga status, karena peran orang tua bukan hanya sebagai pemimpin keluarga tetapi juga pengayom, memberi rasa aman serta menjadi teman atau sahabat bagi anggota keluarga.
Kepala sekolah dan guru memahami kapan berperan menjadi orangtua dan sebagai guru. Kapan berperan menjadi orang tua. Kapan menghidupkan suasana kelas dengan canda dan gelak tawa agar siswa tidak bosan atau jenuh saat menerima materi pelejaran.
Para pendidik di satuan pendidikan formal juga kreatif dalam memberikan hukuman yang berujung pemahaman, bahwa hukuman itu bukan derita fisik atau psikis. Melainkan sifat belas asih karena hukuman dan pengampunan didasari oleh kasih. Agar anak didik memiliki sikap rendah hati dan menghargai.
Pengampunan dalam praktik pendidikan keluarga tidak terbilang banyak jumlahnya. Cinta, rasa sayang dan kasih menjadi dasar utama keterlibatan orang tua dalam pendidikan lewat  komunitas kecil yang disebut keluarga.   
(www.suarapemredkalbar.com)
(www.suarapemredkalbar.com)
Namun demikian tidak mudah menjadi pendidik yang memiliki kemampuan imajinatif seperti digambarkan oleh Robert J. Starratt. Sosok raksasa harus memiliki imajinasinya yang melampaui  batas-batas ruang dan waktu serta ilmu pengetahuan. 
Tidak jarang silabus atau kurikulum pendidikan terlalu banyak menjejalkan teori pendidikan. Minim contoh, aplikasi atau praktek. Kurang inovatif dalam menjawab kebutuhan jaman, serta lemah dalam menanamkan nilai karakter . Sebagai mahluk yang paham etika, santun dan bermartabat dengan sifat kemanusiaannya.
Kepala sekolah, pemimpin, pendidik, keluarga dan masyarakat mesti belajar dari Robert J. Starratt tentang pendidikan yang visioner.  Menurutnya kegiatan pendidikan mesti memiliki makna akan tujuan yang sasarannya berdasar pada identitas diri sebagai manusia.
Pemimpin kegiatan pendidikan dituntut memiliki keinginan tumbuh bersama dengan anggota kelompok dan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan di satuan pendidikannya.
Patung Ki Hadjar Dewantara (Foto: Ko In)
Patung Ki Hadjar Dewantara (Foto: Ko In)
Komitmen menjadi kata kunci yang harus menjadi kesadaran bersama. Sekaligus menjadi ruh organisasi agar tujuan pendidikan yang imajinatif, penuh gelak tawa dan pengampunan dapat tercapai jika ada kerjasama antar semua elemen organisasi atau satuan pendidikan.
Pelaku pendidikan mesti  sadar perubahan dan pembaharuan yang  terus menerus. Ini merupakan cara bagaimana menjadikan dirinya sebagai model pendidik yang visioner. Tanggap perubahan dan perkembangan jaman tanpa meninggalkan berkarakter. 
Walau kaya ilmu dan pengetahuan serta luas wawasannya tetap menjadi sosok yang rendah hati.
Tidak sedikit buku berisi tentang bagaimana menjadi kepala sekolah atau guru yang kreatif dan inovatif. Tidak sedikit pula pelatihan telah diikuti guru dan kepala sekolah agar menjadi pendidik dan pengajar yang lebih profesional. Tetapi itu semua tanpa arti jika tidak diaplikasika di satuan pendidikannya dengan memperhatikan situasi kondisi.
Aneka judul buku (Foto: Ko In)
Aneka judul buku (Foto: Ko In)
Kebutuhan mendesak bangsa ini terkait pendidikan adalah keterlibatan dengan cara memberi contoh atau teladan dari pemimpin, kepala sekolah, kepala keluarga dan guru. Terkait dengan berbagai tandakan dan perliaku positif. Khususnya masalah etika, moral, peduli saling membantu dan jauh dari sikap egois.
Tidak tertib (Foto: Ko In)
Tidak tertib (Foto: Ko In)
Pendidikan yang inovatif  itu.....
Pendidikan yang inovatif itu, pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk memahami esensi setiap persoalan yang ada di masyarakat. Menemukan akar permasalahan sehingga mampu meremuskannya sehingga mudah memahami setiap persoalan.
Pendidikan yang inovatif itu, memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat bantu dalam menangkap persoalan secara utuh dan komperehensif.  
Buku dan sumber referensi terkait pendidikan inovatif cukup banyak. Namun semuanya menjadi tidak ada arti jika tidak ada peran keterlibatan dan mengaplikasikannya dalam upaya mengatasi persoalan-persoalan  pendidikan.
Pendidikan yang inovatif itu, pendidikan yang terlibat secara langsung dalam bentuk teladan. Dalam bentuk praktek atau aksi yang baik, berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Bukan hanya baik bagi diri sendiri.
(www.id.jobsdb.com)
(www.id.jobsdb.com)
Pendidikan yang inovatif itu mengandung arti pembaharuan dan perubahan. Tidak mudah bagi seseorang untuk menerima perubahan dan sesuatu yang baru khususnya bagi mereka yang telah mapan secara ekonomis dan status sosial.
Termasuk mereka yang cukup umur atau orang tua menjadi sedikit lebih sulit untuk  berubah. Berbeda dengan mereka yang masih dalam perkembangan atau pertumbuhan seperti anak-anak dan remaja.
Pendidikan yang inovatif, tidak lepas dari usaha membentuk karakter. Sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang memiliki hak dan tanggungjawab. Tidak mudah goyah pendirian atau sikapnya, manakala dihadapkan pada persoalan-persoapan kehidupan yang sangat komplek.
Ciri pendidikan inovatif tersirat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003 yang dipertegas dengan Peraturan Menteri Pedidikan Kebudayaan no 30 tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan.
ok-9-5b727a016ddcae460c017242.jpg
ok-9-5b727a016ddcae460c017242.jpg
Untuk melibatkan keluarga  dan masyarakat lebih efektif, inovatif dan terarah.
Pertama, perlu sinergi antara keluarga, masyarakat dan satuan pendidikan. Dalam Permendikbud no 30 tahun 2017 yang dimaksud dengan satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggrakan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan kesetaraan.
Sinergi ini dapat tercapai bila ada semangat kerjasama dan saling membantu, serta keterbukaan atau transparansi. Sehingga menghasilkan sebuah lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan dari  hasil kerja keterlibatan keluarga, masyarakat dan lingkungan di satuan sekolah yang ada.
(www.wikipedia.org)
(www.wikipedia.org)
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brasil yang menyebutkan bahwa praktik pendidikan sejatinya berfokus pada percaya diri, kompetensi profesional. Termasuk kedermawanan, komitmen, kebebasan dan otoritas. Disamping itu pendidikan juga mengajarkan proses dialog dan hubungan yang harmonis.
Kedua, terkait masalah kepedulian. Sudah waktunya keluarga atau masyarakat menanggalkan sikap apriori  terkait keterlibatan keluarga atau masyarakat dalam pendidikan ujungnya hanya soal biaya uang pendidikan.
Tidak sedikit orang tua yang enggan menghadiri undangan dari pihak satuan pendidikan. Sikap apriori tersebut terjadi karena tidak sedikit satuan pendidikan atau sekolah yang hanya mementingkan tarikan sumbangan pendidikan.
(www.idieparokie.com)
(www.idieparokie.com)
Disisi lain, sikap apriori terkadang juga muncul dari pihak satuan pendidikan atau sekolah yang was-was melibatkan orang tua atau masyarakat. Sebab sekolah nyaman dengan kemampanan dan cenderung anti perubahan.
Persoalan pendidikan terus berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Sekolah seolah membentengi diri dari orang tua atau masyarakat yang kritis terhadap proses serta sistem pendidikan yang dinamis.
Tidak heran jika ada sebagian orang tua yang malas bergabung dengan komite sekolah atau malas menghadiri undangan sekolah karena pihak sekolah anti kritik dan koreksi yang sifatnya membangun. Tidak sedikit sekolah yang membentuk komite jauh dari kata demokratis, pemilihan pengurus komitenya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh sekolah.
(www.edunews.id)
(www.edunews.id)
Dipilih pengurus dari orangtua atau wali dengan ciri-ciri seperti mapan finansial sehingga saat sekolah mengajukan ide pungutan kepada orang tua mudah diloloskan. Karena ukuran besar pungutan menjadi sangat subyektif sesuai kemampuan pengurus komitenya.
Pengurus atau anggota komite yang dipilih bukan pula orang-orang yang kritis terkait dengan masalah pendidikan. Namun mempunyai pengaruh terkait dengan status sosial. Harapannya saat meminta pertimbangan, akan mudah dalam mengambil keputusan yang sudah direncanakan sekolah.
Pendapat Paulo Freire sangat relevan bahwa tidak ada kegiatan mengajar tanpa belajar. Pendidik mesti belajar untuk menghormati apa yang diketahui oleh murid dan keluarganya karena pengajaran bukan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan.
Keterlibata masyarakat dalam pendidikan (Foto: Ko In)
Keterlibata masyarakat dalam pendidikan (Foto: Ko In)
Jika telah menemukan kata sepakat  tentang arti sinergi dan kepedulian antara keluarga, masyarakat dan satuan pendidikan terkait penyelenggaraan pendidikan. Maka  kebutuhan akan rasa aman, nyaman serta semangat belajar lebih mudah dicari solusinya.
Termasuk bagaimana cara mengatasi  dan mengantsipasi agar tidak terjadi tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum, dari sebagian peserta didik. Seperti terlibat dalam penyalahgunaan Napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) atau tindak anarkis dan perkelahian antar pelajar.
Kikis sekat  imajiner
Kesamaan persepsi akan mengikis sekat imajiner yang selama ini terbangun dari persepsi  serta pola pikir yang kurang tepat atau salah. Karena kurangnya keterbukaan antar satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat. 
Keterlibatan Keluarga dalam pendidikan (Foto:Ko In)
Keterlibatan Keluarga dalam pendidikan (Foto:Ko In)
Pendidikan yang melibatkan keluarga dan masyarakat artinya mendidik sikap jujur, peduli  dan tidak segan terlibat dalam proses pendidikan siswa. Lewat peran sebagai komite sekolah, menjadi narasumber dalam kegiatan di sekolah.
Ikut aktif dan berpartisipasi kegiatan kokurikuler, ekstrakurikuler dan kegiatan pengembangan diri siswa didik. Termasuk berperan aktif dalam upaya pencegahan kekerasan,  pornografi, pornoaksi dan penyalahgunaan napza.
Dengan melibatkan keluarga dan masyarakat secara bersama dengan satuan pendidikan. Akan menemukan langkah teknis pelaksanaan bagaimana menjawab kebutuhan dan kemampuan satuan pendidikan terkait upaya memajukan proses pendidikan.  
(www.kompasiana.com)
(www.kompasiana.com)
Sehingga sekat imajiner antara sekolah, keluarga dan masyarakat pelan-pelan dapat dikikis dari mind set masyarakat dan pengelola di sekolah. Sebab masalah pendidikan bukan semata-mata seputar dana sumbangan pendidikan, uang seragam, uang study tour atau sumbangan dana perpisahan akhir tahun pembelajaran.
Sebab pendidikan itu berbicara tentang seseorang atau masyarakat yang beradab, berbudi, rendah hati dan memiliki kepedulian satu sama lain.
Tulisan ini ada di sekat www.kompasiana.com/koin1903

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Itsmy blog

 It's my mine